Upaya Berjalan di Atas Perut



Aku lupakan lagi Babilonia. Kembali ke Tursina.
Peradaban tidak hanya Mesopotamia dan Mesir Kuna.
Aku jauhi lagi tangkai petir emas dan lautan anyir cemas.
Kusudahi saja memikirkan jalan sufi yang sepi. Para penyintas

merasa di jalan itu sudah penuh dengan pencuri api.
Setiap kali muncul puisi, puncak-puncak piramida jadi
gemetar. Langit biru pudar. Dan kesetiaan hanya debar.
Aku bersabar. Melangkah pelan ke dalam kemah tua di Maar.
Dan meminum kembali air pahit itu dengan tidak menjerit
atau meronta. Menikmatinya seperti mengamati cangkang amonit
melingkar. Aku tak lagi mengingat Eden. Tak kuingat juga
ular tua dan sumpah Hawa. Kupastikan bahwa segala
yang kudengar dariNya adalah upaya berjalan
di atas perut, membereskan segala sengkarut.

2015

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung