Memancing Tilapia

Jika kau tersipu, pangkal lidahmu biru. Menjebak langkahku dalam ragu
Padahal awan mengurai hujan bersamaan, bukan satu demi satu
Di sungai itu, di tangkai joran itu, hatiku menggelepar
Mengira maut adalah gelombang yang menjalar
berjela di pandanganmu.

Maka kau menyelam, menembus hal-hal yang kelam. Melepas genggam tangan
Aku membisu di tengah hujan yang makin mengaburkan kesedihan
Di atas perahu, di luasan telaga ini, harus kutanggung semua
yang berdebar. Semacam kabar perpisahan tanpa bunyi petir
atau isyarat banjir ke kotamu.

Pernah suatu waktu, Si Tua Berjanggut Putih Bersih itu mendayung,
setelah melepas dua ekor burung, lalu berseru di atas gunung,
"Banjir besar mulai surut!"

Dan seluruh hewan menurut, mengembara ke segala sudut
Tapi tertinggal lah kau, di pinggir danau, dengan dua keping uang logam
di mulutmu yang hitam. Kau tak hendak berkelana,
hanya ingin berjumpa denganku saja.

Kau mungkin mengira aku ini Petrus
Padahal suara yang kudengar, bukan berasal dari Yesus,
karena itu aku memancingmu. Mengharap gurih daging
di balik sisikmu yang seperti kain lurik.

Saat kulihat kau mendelik,
aku justru merasa - dalam hidupku - inilah saat terbaik.

2013  
 

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung