Batur Taskara

: Nyoman Lempad

1/
Cahaya bulan tak dapat mencegah kemungkaran atau tidur abadi.
Siapa pun dapat berbisik dan melarangmu pergi. Tetapi hanya kita
yang akan menjemput kemalangan diri sendiri.

2/
Cintailah aku seperti pensil dan tinta melekat pada kayu dan kertas,
seolah cinta adalah sesuatu yang kelak membekas dan tak pernah lekas lepas.

Meski di Patali Nagatun, mereka masih mengingatmu sebagai pelarian.
Meski nanti, beragam senjata mengakhiri segala penderitaan dan kenangan.

3/
Aku, Witaskara, berulangkali menyucikan diri,
tapi berulangkali pula kau melihat kelam dalam diri.

Sejarah, Puan, membawaku ke negeri-negeri bersalju,
meski gambar-gambar tak berwarna itu.

Aku, Witaskara, berusaha sepenuh hati melengkapi
apa yang kau rasa kurang: detail dan motif ukiran, tapi

sejarah, sekali lagi, mengembalikanku pada dirimu
yang selalu menjatuhkan aku pada lubang pohon randu.

4/
Cintailah aku seperti dendam rakyat Patali Nagatun, yang tak tuntas
mencarimu karena dua ekor kambing muda dan trengginas.

Meskipun alam berbisik: Janganlah pergi di bulan Karo ini,
sebab kemalanganmu sudah menanti. Sudah mengerti.

5/
Cahaya bulan kerap menipu diri. Jadi sepasang iblis atau peri.
Keluar dari lubang pohon randu dan mengembik sesekali.

Tentu kau mengerti: cinta adalah sesuatu yang pasti.
Hanya apa yang terjadi nanti, tetaplah misteri.

6/
Aku, Witaskara, Puan. Sejarah yang kau ulang
dalam kehidupan. Dan Patali Nagatun, tetap penuh kengerian

dalam memandang kehidupan: putih itu putih dan
hitam tetaplah hitam.

2015

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung