La Sonnambula


1/
Dengan cerita dan latar pedesaan, aku berjalan
sebagai kekasih. Angin tersisih dari padang rerumputan.
Cahaya dari bukit-bukit jauh menyentuh segala,
baik petani, pekerja pabrik, dan tuan tanah bersahaja.
Seolah diberkati bunga-bunga melati dan pesona
warna anyelir, aku hadir pada suatu pagi. Dibuka
dengan nyanyian; "Hati adalah segalanya. Penerimaan
juga takdir. Keindahan rupa dalam suara penyair. Dan
cinta seperti kata maaf di depan nisan. Kau buka
tangan dan meletakkan topi di dada. Tanda hormat juga
memberi restu." Tak ada yang merasa iri pada
kehadiranku. Tak juga mereka yang tinggal di istana.

2/
Kesedihan hanyalah kesediaan menerima kegelapan,
dia muncul tanpa pesan dan perkataan-perkataan
meyakinkan soal kesetiaan. Dia gelap bagaikan jelaga
langit menjelang hujan. Kau tahu, aku tetap terjaga
seperti gajah di pinggir telaga. Meski di dalam pikirannya
semua: petani, pekerja pabrik, dan tuan tanah itu merasa
semua rahasia akan terbuka dengan sendirinya. Dan
kebahagiaan mekar seperti bunga-bunga. Sebagai pejalan
aku meraba-merangkak dengan pelan: ladang, pabrik, juga
tanah-tanah lapang. Mengeja kata-kata cinta tersisa
dari deretan nisan dan bunga di rerumputan. Mencoba
merasa: bagaimana kebahagiaan bisa begitu rupa
menyelinap dalam pikiran. Seperti mimpi yang buncah
pada pedesaan, ketika pagi baru saja pecah.

2015

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung