Ketika Kita Berciuman

Bagaimana bisa aku bayangkan lautan, atau rindu ombak pada dinding kapal
Karena kau, putih bulan. Timbul tenggelam dalam siasat awan yang tak pernah kuhafal.

Seperti tirai, aku hanya melambai. Pada kenangan, atau pada pudarnya warna hiasan pintu
Agar kau tak berpaling karena malu, dan melepas sepasang sepatumu buru-buru

lalu duduk melamun di dalam kamarmu, memikirkan lantai yang pualam,
malam yang terang, dan suara kematian itu pekik atau debam?


Bagaimana jika aku menjelma saja sebagai buku? Kau tentu setuju. Buku selalu menipu
tapi kau tak pernah ragu untuk membawanya pulang, seolah dia kucing belang abu-abu

yang baru saja bisa membebaskanmu dari memasang perangkap tikus
di bawah bangku. Lihatlah! Lidahnya bergerak terus menerus.

Seolah ada darah dan rasa haus mendebur seperti pada sebuah pelabuhan
di mana seseorang seperti kita, duduk dan terluka melihat kapal-kapal di kejauhan.

Karena kau, putih bulan. Rambut yang tersanggul dan tajam tatapan
Sedang bibir ini; mencit rakus remah dan hal yang mudah diucapkan

seperti: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan bersaksi dusta,
dan sejumlah peringatan lain yang tak sempat kau pikirkan dengan seketika


saat tubuhmu seolah dilepaskan dari gaun hijau murung
dan semua yang terbuka: buku, sepatu, kotak tisu, tampak limbung

dalam pesonamu yang pucat. Dan tak ada sesiapapun menyoal
apakah di luar: hujan turun deras, atau hanya ombak berbual-bual.

2013

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung