Litani Pagi Hari

1/
Sejak dari Gilgal, bahkan jauh sebelumnya,
lenganmu lurus panjang.
Sehunus pedang.
Menembusi bidang
dinding tebal,
hati yang banal,
mata yang gagal
menangkap;
dari mana jatuh bulir-bulir manna,
dari mana asal burung-burung puyuh di tenda,
dari siapa suara yang begitu riuh

hingga runtuh menara-menara yang angkuh,
hingga terampas kota-kota terjauh,
kota di mana nyaris tak bisa
kujangkau engkau.

Duhai, lengan yang anggun mengayun,
Segerakanlah dia bangun!

2/
Dia serupa bingkai jendela,
dan aku bagai penari belia.

Dan seperti pada sebuah taman,
aku dan dia akan mulai berbagi peran,
dalam sebentuk permainan;
membentuk bayang-bayang.

Dalam sajak ini, tak hendak
aku beranjak. Hanya duduk
dan mereguk semriwing
suwung di tubuhnya. Hal-
hal yang – kutahu – begitu
sederhana. Begitu tanpa makna.

Sampai dia menciptakan
teman yang lain,
teman yang bisu,
hanya saja selalu
bersamagerak denganku.

3/
Seorang yang lain begitu setia,
seperti Musa, seperti Yosua,
menyerbu dia, menyerbu dia
ke tubuh kosong bingkai jendela!

Haruskah aku – si penari - melarikan diri?
Haruskah aku kembali ke bilik sunyi?

Sejak dari Gilgal, dan akan terus begitu
adanya, lenganmu terus mengayun.
Pun di sebuah lorong penuh gerimis,
di mana aku mencari sebenarnya arti tangis;

pada sebilah pedang,
pada sisa-sisa perang,
pada diri seorang,
pada bayang-bayangmu, Sayang.

2009

Comments

frozen said…
sudah lama saya tidak membaca sajak model litani gini

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung