Posts

Showing posts from December, 2015

Train

Long subliminal messages 8.34 pm and yet undone like a quote of Confucius, "it doesn't matter how slowly you go so long as you do not stop." Waiting is the work of life, a big plastic chair which chill you. But waiting is a very confuse, "Is it me or it is you going to be forsaken by time goes by?" My heart's a station lies underground, Your love's bullet train going through. Our space are platforms numbered. And conversations never found. 2015

Sebuah

Sebuah buku terbuka jauh. Sebuah lampu terkadang lintuh. Sebuah jarak dipadamkan piuh. Sebuah aku: helai-helai kegelapan panjang. 2015

Mantel

Hari ini kabut tebal dan kota gagal menerjemahkan bunga-bunga. Kukenakan mantel untuk meringkus diri sendiri dari percakapan tentang pengungsi yang membentang tenda di antara pepohonan dan bangku besi. Mantel berbau malam-malam pelarian. Dan aku yakin, di dalamnya tak ada yang bisa berkelana selain tubuh dan hangat perjanjian. 2015

Kudus

O, Darahku yang tunggal mengapa mengalir ke tempat terjal? O, Darahku yang membenahi keringat sendiri, takutkah Kau pada tepi sepi? Sampai Kau gulirkan sendiri bulir-bulirMu ke dalam tenda, ke benteng kota di dada penuh lemak dan noda? Padahal mereka membangun diri lebih lega, lebih mewah, dan lebih curiga daripada rasa percaya -- bahwa dosa seperti busa pada acara mencuci gelas dan piring di pagi hari. Dan pada akhirnya, kekudusan adalah hal yang berurusan dengan pisau yang tak sengaja menempatkan tepi terbengisnya pada telunjukku yang kurus. O, Darahku yang tunggal mengapa tak tercurah ke rindu majal? Darah yang merapikan sendiri sedih sampai tak kukenali lagi kental doa dadih. 2015

Aku Mengingat Barah di Jangat

Dengan mengiris kenangan berlapis, aku mengingat barah di jangat. Mencium kembali darah dan keringat, menghidu lagi nanah paling amis. Memutar peristiwa kecelakaan tragis, betapa kata begitu berkarat. Dan kota adalah kotak pepat bagi kutukan imperialis. Tak bisa kutampakkan lagi tangis selain merutuk, meratap, rapat-rapat. Membuat jarak antar kata tak sempat rumuskan sepi, menjerumuskan alasan logis mengapa suara terkabar lebih manis dibandingkan apa yang sebenarnya telah tersurat pada jaringan kulit, daging, atau serat. Seperti ketika luka berubah kronis. 2015

Biar Kembali Aku Selesaikan

-- untuk MS Biar kembali aku ganti patah jarum waktu di ujung jubahmu pada karnaval orang-orang suci. Di mana pepanji dan janji diangkat tinggi, mengurung langit yang banal dengan warna pasi. Duhai, Engkau tak bisa terganti dengan kesucian yang adalah gunung dengan salju tebal dan dinding terjal bagi seluruh tungkai ini. Biar kembali aku selesaikan - lagi dan lagi - akhir dongeng murung di tepi bantal di deras alir mimpi. Agar Engkau, O, Anak Lelaki terbebas dari langkah limbung negeri yang gagal memberi arti. 2015

Mabuk Kota

Kota melabuhkan ikan-ikan dari teluk dan membawa suasana mabuk di ujung tengkuk. Kota menjatuhkan jutaan kutuk di lipatan ketiak, di limbahan yang mengubah bentuk. Kota juga memaksa engkau masuk, memilih berdiri atau berdesakan untuk duduk. Meski kau bertahan, berjalan membungkuk, tapi kota tak juga mudah untuk kau buat tunduk. Dia tetaplah kota -- tempaan kata-kata busuk. Baja dan beton saling menusuk. Dan seekor pelanduk adalah dia yang rela mati di gubuk-gubuk sekeliling telaga yang hendak jadi waduk. 2015

Meng Khi

Di luar, udara mengiris telinganya kembali. Dia hapal benar jalan ke dermaga, tetapi jung itu sudah tak kelihatan lagi. Di dalam kamar, sepi bersetia berjaga agar kemungkinan terburuk tak lagi ada, seperti kamus dengan beragam kata. Kini, dia melangkah dengan gagah. Telah dipersiapkannya sebuah telinga dan sekantung pedih pohon mangga yang kecil-kecil bunganya diserakkan begitu saja oleh sepenggal kenangan malam tadi. Sampai bertemu biji, katanya, aku tak akan pernah berhenti. Dia - juru kabar penuh luka, berjanji akan selalu kembali kepadamu, Kertanegara. 2015