Posts

Showing posts from January, 2008

Pada Pijar Lampu di Beranda

Pada pijar lampu di beranda ketika senja di kotaku, ada kobar rindu di dada akan sendu wajahmu; Wajah yang tak terstimulan dengan benar oleh pendar cahaya bulan di bangku taman, tak juga oleh kepak kupukupu. Hanya ada sayup suara terdengar olehku, seperti suara sayap kelelawar di antara rimbun daun jambu, pertanda senyap telah menghingar, menderu: memanggil namamu! Langsat pipi malam, lelehkan tangisku; ini rindu teramat kelam, dan betapa waktu cepat berlalu Hingga hanya pada pijar lampu, kuangankan dirimu. Bercahaya penuh. 2008

Aku Bayangkan Diriku Sebagai Nelayan Tua

Tanganku seakan tangkai rapuh di hadapan sauh, sebab lautan telah menjelma ladang pembantaian dengan segala ganas gelombang dan batuan karang. Pada lembar-lembar kain layar, haruskah aku merasa tegar? Sedang angin terlalu liar dan arus lahirkan seratus pusaran, segalanya siap runtuhkan setiap rasa percaya. Tali-tali, tiang, dan anjungan, juga kemudi tak membuatku semakin mengerti : setiap langkah harus punya arti! Maka kubayangkan; betapa Zawawi menguliti setiap buih, betapa Li Po bercakap di punggung laut, tapi tiba-tiba kau memanggilku: "Pulanglah Kekasih, aku takut!" Tetapi laut, tetap lah laut. Seperti keriput pada kulit wajahku yang kalut sebab badai belum lah surut. 2008

Sebuah Sajak Baru yang Kutulis Bukan Untukmu

Pulanglah, di ruang ini hanya terserak buku-buku berdebu, bahkan banyak kertasnya menjadi abu. Tapi tak ada yang pernah mencatat namamu. Tak ada juga gambar manis senyummu. Kuharap kau tidak sedang memancing kenangan itu muncul, dan seperti ibu, ia akan mendekapmu dengan lembut, membetulkan letak bantal, dan menaikkan ujung selimut. Karena tak ada yang pernah mencatat namamu. Tak pernah ada. Anggaplah, kenangan indahmu seperti air telaga, dan kau nelayan tua yang setia menunggu umpanmu disantap ikan. Apakah gerak getar dari senar itu kau nantikan benar? Atau anganmu hanya kautumpu pada daging ikan segar yang nanti akan kaugoreng atau kaubakar? Pulanglah, namamu tak pernah terlintas di sini. 2008

Sajak Sepotong Kuku

kuku pintu itu terkuak. selembar doa menjulurkan lidah: duhai kau yang terbuang dari puak, berapa lagi rahasia akan kaudedah? dari kulit waktu yang mengelupas, dari mimpi yang tak pernah pulas. ahai, punggungmu pun tergaruk! betapa pelan kulit punggungmu dimamah matahari dan dikunyah tiada henti; "dimulai dari angka sembilan?" kau bertanya. entah pada siapa. lalu kelam membungkus sunyi, sendiri. seperti yang azali, seperti yang hakiki: tapak-tapak kaki. ahoi! perjalanan ini selalu ingin memaknai mati. tapi, siapa yang peduli? kita selalu merasa sendiri. di kamar ini. kamar dengan dinding abu-abu, pun lampu redup ungu, dan sebuah poster penyair malu-malu mengintip celanamu; "apa yang tersembunyi di situ?" tunggu! aku sedang khusyuk membaca tanda-tanda pagi; bayi matahari, kelopak embun, dan sayap merpati. wah, asyik sekali. sebenarnya aku ingin bercakap dengan tubuhmu yang penuh kurap. gayamu mencarut gelisah, sungguh indah. tapi, aku juga ingin mendoakan; semoga ini

Esai Tentang Sastra di Sekolah

Mengajarkan Sastra di Sekolah Donny Syofyan Mahasiswa Pascasarjana The Australian National University, Canberra Dosen Fakultas Sastra Unand Sastrawan Taufik Ismail dikenal sangat gigih memperjuangkan kebangkitan pengajaran sastra dan menulis di sekolah-sekolah. Menurutnya, kemampuan sastra siswa sekolah menengah di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan 13 negara yang pernah dikunjunginya, yang mewajibkan siswa-siswinya membaca dan mendiskusikan 5 sampai 32 karya-karya sastra per tahun—sebuah situasi yang sudah lama hilang di sekolah kita. Keprihatinan sastrawan terkenal tersebut bukanlah hal yang baru. Hal ini amat mendesak diatasi karena sastra adalah kendaraan yang efektif buat mempromosikan intelektualitas, kebajikan, moralitas dan kearifan. Sejarah menuturkan secara fasih bahwa negara-negara maju dan industri, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Prancis, telah lama menjadikan sastra sebagai unsur tak terpisahkan dalam pengembangan kepribadian dan pembangunan ba

Pulang Malam

Sebab di langit tak ada lagi bintang, papan iklan bioskop tua bergambar wanita setengah telanjang arahkan aku untuk pulang : ke tempat segalanya bermula Tak jauh dari situ, ada tugu pejuang Dia yang sikapnya kukuh merengkuh senapan adalah gambaran : ada luka abadi yang tak bisa kubawa berlari Di antara pendar jingga lampu taman dan desau debar angin malam, langkahku kaudengar begitu pelan. Hingga seperti di Golgota, aku mulai meronta : “Kekasih, suara dari luar pagar berterali besi adalah benar suaraku!” 2008

Berjalan di Punggung Bukit

Sejak surga membelah tujuh, sebongkah batu merekah jadi bukit Lalu ke sana aku menuju. Menggapai ragu, merangkum sakit Seperti gugusan cemara direndam hujan, mengembunkan nafas sebaris sajak kubaca teramat pelan, agar kau tak lekas dari pulas Hanya tak ada sakitku di dadamu, Sayangku. Tak juga selintas rindu. Yang ada di tiap langkahku hanyalah ragu. Terlalu menggebu. Seperti kukuk burung hantu. Alunkan nada-nada pilu yang hanya dimengerti oleh angin. Selalu begitu. Hanya aku, berlari melintasi kabut; jejakkan ringkas berkas cahaya di antara bayang pepohonan yang begitu tegas. “ Samar . Terlalu samar”, katamu waktu itu padahal hujan telah lama menjelma sebagai bunga-bunga di padang . “Tapi tak ada kupukupu yang lincah”, Perkataanmu kusanggah. Diam-diam sorot matamu itu meruang di dalam gelisah. “Akankah kita senantiasa berjalan beriring, mengeruhkan bening lapisan waktu, dan membiarkan segalanya menjadi hening?” Selebihnya, yang ter

Bersih-bersih

Sepasang sandal tua mengintip jalanan yang dipenuhi mayat terompet, dan sisa tawa kembang api. “Seperti tong sampah yang penuh bungkus McD!” Gerutu mereka. Sementara, sepasang kaki yang memakainya masih terdiam di depan pintu. Menunggu Ibu, katanya dari tadi. Ibu membawa kesedihannya ke pasar. Sendiri. Ayah sudah lama tak pulang, kabarnya dijemput sepi. Kakak, yang sudah lama ingin jadi penyair, beralih hobi : menanam amarah setiap hari. Sepasang kaki itu masih menunggu di depan pintu. Meratapi mayat terompet dan kembang api yang kehilangan suara tawanya malam tadi. Lalu dia tertawa sendiri. Hidup sekali berarti! Tadi malam, telah dibuatnya tong sampah yang besar sekali. Dibuangnya segala rasa sakit, sedih, amarah, dan galau yang dirasanya begitu abadi. Pagi ini di depan pintu, dia ingin tunjukkan pada Ibu : tubuh yang bersih, kamar yang rapi. 2008