Berjalan di Punggung Bukit

Sejak surga membelah tujuh, sebongkah batu merekah jadi bukit
Lalu ke sana aku menuju. Menggapai ragu, merangkum sakit

Seperti gugusan cemara direndam hujan, mengembunkan nafas
sebaris sajak kubaca teramat pelan, agar kau tak lekas dari pulas

Hanya tak ada sakitku di dadamu, Sayangku. Tak juga selintas rindu.
Yang ada di tiap langkahku hanyalah ragu. Terlalu menggebu.

Seperti kukuk burung hantu. Alunkan nada-nada pilu
yang hanya dimengerti oleh angin. Selalu begitu.

Hanya aku, berlari melintasi kabut; jejakkan ringkas
berkas cahaya di antara bayang pepohonan yang begitu tegas.

Samar. Terlalu samar”, katamu waktu itu padahal hujan
telah lama menjelma sebagai bunga-bunga di padang.

“Tapi tak ada kupukupu yang lincah”, Perkataanmu kusanggah.
Diam-diam sorot matamu itu meruang di dalam gelisah.

“Akankah kita senantiasa berjalan beriring, mengeruhkan bening
lapisan waktu, dan membiarkan segalanya menjadi hening?”

Selebihnya, yang terkacau hanya langkahku.
Sesekali aku jatuh menggelinding, dan kaubilang: lucu.

2008

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun