Sajak Sepotong Kuku

kuku pintu itu terkuak.
selembar doa menjulurkan lidah:
duhai kau yang terbuang dari puak,
berapa lagi rahasia akan kaudedah?
dari kulit waktu yang mengelupas,
dari mimpi yang tak pernah pulas.

ahai, punggungmu pun tergaruk!
betapa pelan kulit punggungmu
dimamah matahari dan dikunyah
tiada henti; "dimulai dari angka
sembilan?" kau bertanya.
entah pada siapa.

lalu kelam membungkus sunyi,
sendiri. seperti yang azali,
seperti yang hakiki:
tapak-tapak kaki.

ahoi! perjalanan ini selalu
ingin memaknai mati. tapi,
siapa yang peduli? kita selalu
merasa sendiri. di kamar ini.

kamar dengan dinding abu-abu,
pun lampu redup ungu, dan sebuah
poster penyair malu-malu mengintip
celanamu; "apa yang tersembunyi di situ?"

tunggu! aku sedang khusyuk
membaca tanda-tanda pagi;
bayi matahari, kelopak embun,
dan sayap merpati. wah, asyik sekali.

sebenarnya aku ingin bercakap
dengan tubuhmu yang penuh kurap.
gayamu mencarut gelisah, sungguh indah.

tapi, aku juga ingin mendoakan;
semoga ini perjalanan tidak hanya
sampai di bulan. jadi kutunda
segala bualan. kupaksakan untuk
diam; berdoa sekhusyuk orang di
kuburan.

2008

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun