Posts

Showing posts from September, 2010

Potret Tukang Sado

Potret Tukang Sado "Hidup adalah perjalanan," demikianlah dia memulai pembicaraan setiap kali aku berjumpa dengannya. Dengan cekatan dia menghela tali kekang dan dari mulutnya terdengar kata-kata yang nampaknya sangat dimengerti oleh kuda berkulit coklat yang dari dalam sado hanya kulihat pantat, ekor dan surainya yang bergerak-gerak. Setiap hari minggu, ada seorang anak yang duduk di depan bersamanya. Si Tukang Sado tidak pernah mengenalkan siapa anak itu kepadaku, sehingga aku menduga bahwa itu anaknya. Hanya pernah dia tertawa sambil berkata,"Anak ini terjebak dalam lagu." Tanpa sadar aku pun mengikuti ketersesatannya itu sambil memutar lagu yang dia maksud; Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota... Ah, akhirnya aku tahu siapa anak itu! Pastinya, Tukang Sado itu pun dulu seperti anak itu. Dia tidak akan pernah bisa berkata "Hidup adalah perjalanan" jika tidak pernah tamasya naik sado keliling kota. Sampai akhirnya ketika ayahnya menua dan sakit-sakitan,

Yang Kuman, Yang Lautan

Kau koloni kuman, Lautan yang kuseberangi seorang diri dengan mata terpejam. Bukan lantaran kau begitu menakutkan, tetapi menaklukkanmu adalah beragam kemungkinan. Aku, perahu kebimbangan. Cadik patah, layar terbelah. Ombak setinggi lutut, menekukku sepenuh kalut. Pulau dan pepohonan seperti kenangan membayang. Menghiba-menghimbau agar aku cepat pulang. Kitakah lambang perjuangan? Di dinding candi, di gambar selembar uang. Kisah nenek moyang yang tersengal - terpenggal pada lirik lagu. Seperti punggung ikan paus tertikam harpun. Menyelam! Tenggelam! Sebelum pukat, sebelum jerat. Sebelum pantun bernada laknat. 2010

Yang Darah, Yang Nanah

Kau Luka, yang lewat mata berkirim kabar dengan lirih rintih & jerit sakit. Aku tergoda airmata - karena begitu seharusnya - seperti yang dahaga, seperti yang bertemu telaga. Lalu mengada darah; tubuh pasrah, sungai paham arah. Dialirkannya aku mendekat; Terpikat. Terjerat! Pada akhirnya Muara; Suara-suara anak dara berdendang dendam rindu. Merayu. Likat madu. Serupa nanah dari balik ruam. Pecah sudah rupa gundah. 2010

Yang Himar, Yang Hingar

Janganlah Kau sangka aku: Dermawan Di luar tembok, tertambat hanya 2 ekor himar Pakailah mereka sesukamu, Tuan Padanya tak bergembok, segalanya telah terlukar Dan mari kuantar Tuan ke Pasar Di sana, yang hinggar dan sesak itu kesabaran Segobang, secupak kuberikan juga, kuanggap hilang, kuanggap tak berharga. Tanpa payung dan panji, pasti kupenuhi janji, seperti daun palma berbentang jejari. Duhai Tuan, perjalanan panjang ini; Kau atau Aku yang harus memulai? 2010

Yang Seperti Daun, Yang Serupa Bunga

Daun salam, daun kapulaga, tergoda pula kuncup cempaka. Walau segala diam namun curiga, rahasia rapat ditutup akan terbuka. Yang Kau sebut bunga; Lembar mahkota mekar besar, kelopak melingkar berombak, atau tunas daun beda warna. Aku harus meraba agar tak pernah disebut menduga, kuhirup pula madu dan nektar, supaya fasih bahasa serangga. Daun magnolia, daun lili, terhimpun di antara rumpun rumput. Luka dan luka haruslah terjadi sebelum ada yang dibangunkan oleh maut. Yang Kau rangkai itu; rahasia warna dan rupa adanya, tangkai sulur mengulir, cabang tegak merona perak. Namun, air tetap dalam jambangan, dengan sedikit garam dan bubuk abate, demikian aku berjaga-bertahan, Tuan. Yang seperti daun, yang serupa bunga, bersusun penuh setia, pada ragam gaya. Oleh kuasa yang pernah tak ada padaku, hanya kuharap penuh dalam merupa. Sungguh! 2010

Yang Meriam, Yang Karam

Duhai Sumbu; kesabaran melalui hari-hari berdebu, pijar apakah itu di tubuhmu? Yang selekas redup ragu, setegas percik api ke arah punggung panggung bisu. Dan bola-bola besi; teguh hati juga langkah diri, ada masanya terlepas dan berlari. Menuju-Mu mesti. Melaju tanpa henti. Pas. Pasti! Telah kuukur laju angin, Nahkoda. Telah kutekur segala; yang mungkin dan yang tak mungkin. Sebab dari meriam, harus ada yang karam. Terhenti dan menjadi abadi. 2010

Doa Pemancing

Lubuk yang tenang, ikan-ikan berenang, Gemawan mengambang di langit lengang. Tak terik mentari, angin menari-nari, Segala pucuk hijau dan berseri. Di bawah serasah, cacing berserah, di ujung kail, Sang Maut memanggil. Seperti lengan terjulur, seperti umpan diangsur kesabaran menjadi hari-hari yang tak tergusur. Nanti, di mulut ikan, di langit-langit tertusuk janji, seluruh hati seakan dipanggil. 2010