Lekaslah, Bergegaslah

1.
Hidup bukanlah menanti,
seperti sepi yang jatuh
di kening malam, lalu tersapu
angin di emper pertokoan.

Hidup bukanlah pilihan,
uang receh sisa pembeli rokok
atau sisa siaran iklan di televisi
yang menampakkan beragam tokoh
atau pemandangan kota-kota belaka.

Hidup juga bukan lampu di perempatan,
kau berhitung sejumlah angka berwarna
merah atau hijau, juga suara kendaraan
yang melintasiku.

Di mataku, kau adalah nyanyian,
di mulutku, kau adalah sesuatu yang diam,
tetapi tidak begitu diam. Melainkan bergerak
nyaris seperti isak. Nyaris seperti bunyi
orang terdahak. Nyaris seperti pagi

yang tiba-tiba menyadarkan tugu dan
sejumlah bel di pintu. Lalu alamat-alamat
begitu lamat terekam di dalam benak.

2.

Kematian itu seperti seorang Tuan,
yang menunggumu, menungguku
di sebuah sepi yang angkuh.
Bisa di suatu malam, bisa di suatu
emper yang dingin.

Kematian itu kepastian, bukan?
Seperti sisa uang di dalam kantong,
atau listrik yang terbuang ketika
televisi itu menyala.

Kematian itu sebuah persimpangan
yang tidak jelas warnanya, tetapi ada,
persis angkotan kota yang kau tunggu.

Di telingamu, berkali-kali dia memanggil
tetapi kau tak mendengar. Di keningmu,
ada seperti bekas ciuman. Yang nyaris
kau lupakan, yang nyaris kau kenangkan.

Serupa seperti pagi, yang pada pukul
berapa kau buka tetapi terlihat beku.
Beku seperti alamat yang mengajakmu
untuk menjumpaiku.

2012

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung