Undangan Perkawinan

: Untuk Rozi dan Ratih

Aku mengagumi kebahagiaan rangkaian melati. Mereka begitu pucat pada kain batik cokelat. Mereka mau mengeluh apa? Yang ada hanya tawa dan aneka minuman aneka rasa. Orang-orang sibuk memasukkan tubuh ke dalam kamera. Dan sepasang manusia yang berdiri berdampingan itu bukanlah kita. Aku mengagumi tangis yang hilang tanpa pesan "Selamat Datang" dan memutuskan berdiam lama pada hidupnya yang baru. Hidup tanpa warna karat di pucuk kuntum melati.

Aku menangisi merah mawar yang terlalu tabah jadi hiasan. Karena dia dipisahkan oleh waktu yang memanjang dari lengkung daun yang pias. Berkali-kali kudengar ucapan bersabar pada setiap lembar kelopak mawar yang limbung oleh sepasang kipas. Mungkin dari dua pasang orang tua yang berdiri berseberangan itu, yang mengajakku bersalaman.

Mereka mengajar beberapa nama. Seperti dulu Adam mengucapkan ulang nama-nama binatang dan tanaman kepada Hawa. Agar Hawa mengajarkan juga kepada anak-anaknya kelak, betapa sukar dan liar nama-nama itu tumbuh dan berakar. Tapi pasti, anak-anak mereka menggali tulang-tulang di kebun itu. Tulang-tulang pemburu dan anjing penjaga yang mati ketika tersesat, mengira kebun rahasia mereka adalah hutan.

Pemburu dan anjing itu tak bisa membedakan bunga-bunga. Hanya paham bahasa burung dan buruan adalah sesuatu yang harus dikejar, dicecar, dan pada saat yang tepat dibidik dengan senapan. Padahal di kebun itu, bunga-bunga itu tumbuh dan mekar. Akar-akarnya seperti janggut dan kumis sepasang laki-laki tua di samping kanan-kiri sepasang manusia itu. Daun-daunnya lembut seperti pipi para ibu. Dan angin di kebun adalah penyesat yang berbudi.

Aneka wangi melati dan mawar disebar.
Lalu terhidu pula pada gelas-gelas berisi minuman.

Tersesatlah para pemburu!
Tersesatlah anjing-anjing!
Dan matilah terkubur dalam kebun.

Agar nanti tulang-tulangmu jadi mainan anak-anak Adam dan Hawa. Supaya mereka senang menggali tanah dan menabur benih-benih bunga. Dan tak pernah berselisih tentang asal muasal manusia: dari Firman atau dari  tulang iga.

Dan bunga-bunga pun mekar.
Dan aku tak perlu lagi menangis bahagia saat melati dan mawar itu dirangkai, dijadikan hiasan, atau hanya sekedar jadi pertanyaan di depan altar: "Kaukah itu yang akan datang?"
Sebab dari setiap kuntum bunga-bunga itu, aku akan lahir kembali sebagai pemburu dengan seekor anjing yang menuntunku masuk ke dalam hutan.

2012

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung