Rumah


1.
Di halamannya, aku bermimpi daun berbentuk hati,
separuh hijau, selebihnya kuning tua kecoklatan
jatuh dengan asa jadi serasah untuk sebentuk biji
berkecambah.
Di pagi basah, sebagian dari diriku berdiri
memandangi langit cerah. Sebagian lain masih
belum bisa tidur. Terlalu banyak rencana di dalam
rumah. Terlalu banyak bencana di luar rumah.
Tubuhku kolam duka bergolak-golak airnya.
Yang ingin kusampaikan padamu -- langit cerah
dan akan selalu cerah. Meski mendung akan
datang dan hujan akan turun. Kata-katamu, atap
dengan pelimbahan yang siap menampung
hujan itu. Haruskah aku risau pada hujan?
Jadi, aku berdiri di halaman dengan keyakinan
seperti daun jatuh itu. Daun berbentuk hati,
sebagian hijau, sebagian lagi kuning kecoklatan.
Dan tubuhku kolam bergolak-golak airnya.
Seperti ada tangan yang terus menerus bergerak
di dalamnya.
2.
Puisi ini menjadi beranda. Pot-pot bungaran
memamerkan warna. Mereka perlu teduhan
dan cahaya. Mereka perlu hujan atau air pancuran.
Setiap hari, kau berdiri di ambang pintu.
Tidak menunggu, hanya mengamati --
dunia temaram, dan luka pejam.
3.
Di dapur, aku -- pisau dan tungku.
Menyiangi nasib, mematangkan perasaan.
4.
Ada sebuah kamar. Terang dan sejuk.
Di ranjangnya, kau; puisi.
Apakah aku masih perlu dunia ini?
Dunia di mana luka bertambah teruk.
5.
Lupakan mimpiku.
Ingat-ingatlah duka itu.
Ikan dalam kolam yang megap-megap;
menggapai-gapai harap.
Dari sebuah jendela, puisi, mengintai
dengan cemasnya yang tak terpermanai.

2020

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun