Posts

Showing posts from December, 2010

Bertandang ke Rumah Pacar

Jauh-jauh ke ibu kota, kau ingin bertandang ke rumah pacar Rumah besar dengan para penjaga berbadan kekar Selalu saja ada alasan mereka untuk menahan kau di pintu pagar, dari tak membawa kartu identitas seperti KTP, pasport, atau kartu pelajar sampai pentingnya harus kau bawa sebuah surat pengantar Kau pun mengeluh, “Bertemu pacar sendiri, kok susah sekali!” Seperti mengajukan ijin untuk mati yang - padahal - sudah jadi jatah tiap orang nanti Merasa diri pecinta sejati, kau pun terus menanti, sebab kau sudah berjalan jauh sekali, dan bertemu dengan pacar adalah impianmu setiap hari. Di bawah pohon, kau ditekuk rasa kantuk sampai kau temukan di pangkuanmu sebuah surat singkat memohon untuk dibaca, “Hai pecinta yang payah! Sudah bertahun-tahun pacaran, kau masih tak tahu alamatku!” 2010

Bunga untuk Pacar

Sebelum pergi bertemu Pacar, kau siapkan bunga istimewa yang lebih harum dari melati, lebih mekar dari mawar, lebih mesra dari cempaka, dan lebih tabah dari kamboja. “Pasti, kau suka sekali memegangnya, memandanginya, menciumnya, dan mungkin akan kau tulis sajak paling indah dari sekuntum bunga ini.” Berkali-kali kau bayangkan bagaimana penerimaan Pacar atas bungamu kali ini. Sampai di rumah Pacar, bunga itu kau serahkan. Dan sebagai balasannya, Pacar mengirimkan kartu ucapan; “Terimakasih bunganya, nanti ketika kau mati, akan kukembalikan bersama hutang-hutangmu.” 2010

Tangis Pacar

Sambil berkeliling kota, kau cari suara yang terdengar sejak mimpimu dibakar matahari di atas becak. Suara tangis pacar yang merdu benar. Diiringi tangis pacar, kau merasa tak lelah menggenjot, "Serasa jogging dengan telinga berpasang i-Pod!" Ketika mengantar penumpang ke kuburan, kau sungguh yakin, tangis pacar itu suara tawa yang samar dari dalam perutnya yang sekarat, belum sarapan. 2010

Mata Pacar

Di bawah tiang listrik, di atas becak, engkau kini makin mengerti betapa mata pacar jauh lebih berarti daripada matahari. Di malam seperti ini, mata pacar benar-benar bersinar seiring kabar dari istri tercinta; tagihan listrik yang mencekik dan SPP anak yang tertunggak. Dari atas becak, engkau kini bersiap. Hendak menembus malam menuju terminal atau stasiun. Barangkali di antara kerumunan penumpang yang selamat dari penjara ibukota, kau temukan mata pacar berbinar-binar saat kaujemput dengan kemiskinanmu itu. 2010

Tangan Pacar

Tangan pacar adalah kenangan yang setia membelaimu saat malam begini dadamu terasa remuk oleh batuk, sementara bulan di luaran tak cukup untuk selimut bagi punggungmu yang bungkuk. Sebentar-sebentar, tangan pacar menyeka keringat dingin di tengkukmu yang tak sanggup dibikin hangat oleh malam yang kurang ajar, menganggap tubuhmu yang meringkuk di atas becak seolah obat nyamuk yang terus menerus menebarkan bau kematian. 2010

Jonggrang

Di rahimmu, matahari tak ingin tenggelam, pecah langit, hitam biru Hari-hari sengit dendam rindu Lihatlah anak-anak waktu Di pucuk-pucuk candi, mereka guncang jejak sejarah paling kelam Oleh karena itu, Putri, aku tidak bahagia Di bawah matahari yang menyala, kurubuhkan kembali 99 tubuh ini Tinggallah aku. Sendiri serupa arca setengah jadi, meratapi kepergian kabut dalam sajak-sajak tentang pagi. Padahal pagi di ingatanku adalah bayi-bayi berwarna hijau yang tumbuh di atas batu : tepat sesaat kau lalu begitu cepat, begitu lesat. 2010 - 2011

Sajak Laron

1. Suatu malam, di depan cahaya, ada yang berdoa. Sederhana saja: "Tuan Icarus, pakailah tubuh saya!" Dan sepasang sayap lilin, lurus lagi halus tumbuh sempurna. 2. Dengan rasa percaya, dia berkelana dari cahaya kepada cahaya. Karena ada banyak cahaya yang tak pernah dilihatnya sejak dia diperam dalam tanah. Sebagai rindu, dialah Ibrahim. Berangkat tanpa syarat, selain sarat cintanya. Maka, setiap berjumpa cahaya, dipersembahkannya sejumput sisik sayap, sambil berharap, "Terbakarlah sebagai sukacita!" Dan dia terus berkelana, dari cahaya ke cahaya, dengan rasa percaya. Sebagai rindu, dia tak pernah jemu menjumput dan membakar sisik sayap setiap bertemu cahaya hingga seluruhnya tercabut dari pundak, dan jatuh. 3. Suatu malam, di depan cahaya, ada yang berkata begini rupa: "Tuan Gibran, tugasmu paripurna." Sayap-sayap lilin telah punah, dan cinta pada cahaya mengantar rindu,

Sejak Lebak Dituliskan Dalam Sajak

Lembut lekuk tubuhmu, Adinda, lumat dalam warna karat senja di hutan karet. Aku, Saija, mata sawah yang terlalu sarat oleh tangis para peladang yang berderet. Apakah yang tersisa dari sajian kisah cinta yang digubah Tuan Multatuli ini? Kecuali fakta sejarah telah begitu berdarah karena duka tak kunjung sirna dari kami, Pribumi. Sejak Lebak dituliskan dalam sajak Rendra, tak semua bisa sepakat bahwa cinta begitu dekat dengan kematian, Adinda, maka kubiarkan saja di langit yang tak lagi biru kubayangkan kau bagai Shinta direngkuh Rahwana, dikejar Garudeya, dan aku, Laksmana, rela mati untuk Rama, Sang Raja. 2010

Sajak Pintu

: untuk Jimbo Kau, puisi yang menyambutku, meminta cahaya terus dinyalakan sebelum kau menghilang. Saat kulewat, kau berseru, "Jangan pergi terlalu jauh! Hidup bukanlah apa yang kau perlu." Lalu aku tersadar- kau & aku: sepasang tubuh telanjang, berlari berdampingan dalam diam, Sementara yang tersisa adalah tari guguran mimpi, terlepas dari rumit rambut: kegiatan sehari-hari. Lagi, kau berkata, "Sayangku, janganlah kau menghilang!" Padahal aku masih termangu menyaksikan kau tumbuh sebagai burung pemangsa. Dan akulah bangkai hilang jerit setiap kau berderit. 2010