Posts

Showing posts from October, 2011

Heichi Sugiyama

Dia adalah seorang penyair asal Jepang yang bulan Oktober ini menjadi penyair bulan ini dalam situs www.poetryinternational.org . Selain menjadi penyair, beliau yang lahir di tahun 1914 ini juga adalah seorang kritikus film. Berikut, beberapa karyanya yang terkenal, yang saya coba terjemahkan dengan bebas. Heichi Sugiyama Lagu selembar kertas bekas yang lusuh itulah aku mencoba kembali berbentuk ia gemerisik dan bergumam sebuah tiang rumah akulah dia pada kedalaman malam di mana sekeluarga pulas ia berderit gorong-gorong di bawah jalan beraspal itulah aku larut malam saat tak ada lagi yang bergerak ia bernyanyi Heichi Sugiyama Kunjungan kupencet tombol panggil pada gerbang yang pasti menderingkan sebuah bel menyalalah lampu di pintu masuk dan kudengar, "Siapa itu?" mendadak anjing mulai menyalak seorang kanak pun menangis ada suara, mungkin ibunya, marah Aku merasa sesuatu terjatuh ke lantai, sebuah pesawat menderu di atas kepalaku menghirup nafas dalam-dalam kukumpulkan selu...

Kartu Pos Bergambar Kolam Teratai Kebun Raya Bogor

Barangkali, di antara rimbun akar yang disembunyikan wajah air itu, dua ekor katak sedang bercinta dan bercerita, "Dulu, seseorang pernah berjalan-jalan tanpa pernah menjejak tanah dan rerumputan." Daun yang lebar dan bundar, berpuluh mata terkembang berbinar: menunggu seekor ikan, kecil saja, memainkan buih mungil yang tumbuh dari percakapan mereka. Barangkali, sedikit riak di permukaan kolam mengusik selimut lumut, dan mengejutkan pasangan itu, hingga menuntaskan kisah itu dengan damai. Tanpa ada yang merasa telah lelah atau kalah. 2011

Panoramio Serayu

Kota telah hilang, jauh di belakang hamparan sawah dan rimbun rumpun bambu. Hanya sinyal telepon genggam mengingatkan betapa cepat dan dekat sebuah perpisahan. Sungai mengekalkan warna langit yang bisu, seolah baru saja pulang; luka perang seorang serdadu. Saat seperti ini, aku ingin mengingat Tuhan. Tapi biarlah Dia bermegah saja! Sebab di sepanjang Serayu, perahu penambang pasir tak hendak mengarah ke hilir. 2011

Sejenak Di Dalam Sajak

Kita serupa waktu yang sekarat, yang tengah lewat di antara bangunan bergaya art deco. Tak ada yang mencatat, apalagi memahat Hanya grafiti berwarna meriah kadang membuat kita lupa pada hal-hal yang pucat, dan yang berkarat. Meriam di tengah alun-alun kecil itu sudah lama diledakkan oleh kesepian, sama seperti yang menyergap kita di sini, di tepi kolam air mancur yang sesekali menyegarkan perasaan tentang betapa baiknya dia yang mempertemukan kita di sini, walau sejenak di dalam sajak. 2011

Di Cholula, Di Luar Kota Puebla

Salju yang memucat di kejauhan itu, seperti kecemasanku sendiri. Ketika tersadar bahwa ada saatnya sajak ini terlalu angkuh di tengah kenyataan: bahwa cinta sangat bisa dinyatakan hanya dengan genggaman tangan - tanpa kata-kata. Dan Puebla, seolah kota yang jatuh, yang dihamparkan di bawah gunung, jauh di bawah patung malaikat pelindung. Dan persislah ia seperti kata-kata dalam sajak yang selalu pasrah jika bertemu para pencari makna, para pecinta. Saat memandang ke arah Cholula, kitalah sepasang yang kepayang itu. Dari atas jembatan ini, kita saksikan betapa tangan dan jemari kita terlalu kecil untuk menggenggam keindahan yang tersaji sebagai rangkaian imaji yang hendak ditinggalkan, dan mungkin kelak dilihat kembali sebagai foto wisata, atau hanya suatu tanda belaka: bahwa ada yang bisa diperkatakan, ada juga yang akan terus dikenang - sebagai cinta. 2011

Potret Peniup Terompet Buta

Malam terbaring saat lampu jalan tegak memandanginya membuka peti usang itu. Tubuhnya yang renta seakan ditopang warna jingga dinding bangunan kolonial, dan tangannya gemetar saat bintang-bintang seolah berebutan menghitung: berapa lama waktu yang diperlukannya untuk menyeka bercak-bercak kesedihan pada pipa kekuningan itu dan berapa siap angin berkesiap mengiringi nada-nada yang dipersembahkannya tanpa kata-kata. Hanya bulan dan kota berdiam, seakan dia akan bertahan selamanya. Selama aku memandangnya dari sebuah lukisan. Dengan sebuah keyakinan: bahwa sajak tak pernah beranjak dari dalam diri. 2011

Setelah Pertemuan Kita

Ini hari pertama kali kulihat kamboja berguguran, seperti kedatanganmu dengan mata berlinang. Ini juga hari terakhir kulihat matahari, yang sinarnya seperti tanganmu yang tak henti ingin memelukku. Sungguh hal yang menggembirakan, melihat kau merasa kehilangan. Sekaligus hal yang menyedihkan karena tak bisa lagi kulihat kau tersenyum. Aku tak bisa lagi berkata; aku mencintaimu. Tapi ini adalah saat di mana kau harus berucap; aku mencintaimu. Harus. Sebab setelah pertemuan kita, tak akan ada lagi kata-kata. 2011

Kantika Maria

Saat hujan datang, akulah debu yang berseru, "Siapakah yang turun bagai embun? Dilumat-lembutkan sejatiku, dirawat dalam langut; rindu hati itu." Meski langit tak lagi sepi dan berubah sepia, juga jalan-jalan digenangi suram kenangan, akulah duli; lekat pada sepasang sepatu. Dan kau, gelora yang tampias sampai ke gerbang kota. Hingga sudah lupa aku akan panas, kini takjub pada megah langkah yang membawaku ke sebuah rumah. Saat hujan datang, aku mencatat sejumlah karat pada tiang dan pagar, agar mereka, yang sedari tadi menunggu hujan reda, jadi tahu: tadi, seorang Ibu telah bertemu dengan anaknya! 2011