Posts

Showing posts from February, 2015

Upacara Ayam Jantan

Dia tak pernah tertarik pada hal-hal yang diikat waktu. Benang merah di mana siput beringsut itu. Dia juga tak ingin mengamati apakah kuning langsat atau biru pucat warna mahkota bunga itu. Lebih dulu dia menarik batas dari paku ke paku. Di tengah dunianya. Di tengah bidang gelap yang menyekap keberadaannya. Dia sendiri. Mencoba mencegah berita-berita perang dan kekerasan. Api dan asap yang menghilangkan sebuah peta. Seperti berdoa dia tegakkan jengger dan taji. Paruhnya juga. Dimerahkan muka dan punggungnya. Dipucatkan warna delima oleh tatapan matanya. Di hadapannya -- jambangan sehijau batu berlumut. Lalu dirapalnya semacam bacaan qunut. Tanpa rasa takut, dia katakan begini kepadaku: Suaraku adalah janjiku kepadamu. Setiap kau dengarkan, kau akan terus teringat akan aku. 2015

Dalam Sajakku

Dalam sajakku, kau bukan saja teman minum kopi. Tempat berbagi cerita dari padang pengembaraan. Dari satu dahan ke dahan lain di pohon yang berbeda ini. Dalam sajakku, kau adalah mata air terbening di pegunungan jauh. Yang untuk menemukannya aku harus mendaki dan terjatuh terbanting-banting berulangkali. Tapi aku akan terus bangkit dan bicara soal cara membuka pagar terkunci. Buhulan peristiwa dan kenangan dari satu ke lain hari. Dalam sajakku, kau buah termanis yang akan meneteskan sari. Gelas penutup pemuas diri. Setelah kureguk, aku tak merasa haus lagi. Kau kedip burung hantu menjelang pagi. Di mana cakar dan paruhnya telah bersih dari bercak darah dan matahari mengusir turun embun ke rerumputan. Dalam sajakku, kau menjadi mezbah di mana peristiwa kuserahkan dan kubakar segala yang inginnya hanya jadi nazar. 2015

Jika Ini Permainan Sederhana

Lakukanlah dengan jenaka: menyusun tiga buah delima dalam laci, dan menulis pesan "diselesaikan dalam berapa tahun" pada secarik kertas kecil dalam dua baris kata-kata. Lalu sebuah delima lagi kau letakkan di atas meja. Di samping buah kenari, kerang, dan bunga rumput. Ini semua tentang perjalanan di dalam hidupmu, bukan? Sesuatu yang kau kenang selama bertahun-tahun. Seperti burung hantu di dalam hatimu yang berkukuk-kukuk setiap malam, menjelang kau hendak nyenyak tidur. Itu semacam kunci dan gembok yang diletakkan berdampingan pada sebuah tembok. Di dalam kamarmu yang kelabu. Jika ini permainan sederhana, tentu kau akan mudah melakukannya. Mungkin satu jam sudah kau selesaikan. Mungkin kau melakukan sambil tertawa, tapi kulihat kau menangis. Seperti ada susunan tak simetris. Dan berulangkali kau merombaknya, menyusunnya, merombaknya lagi. Berulang-ulang begitu. Dan air matamu terus mengalir. Seolah tengah menyusun baris-baris dalam puisi yang tak...

Aku Sedih Kau Masih Menulis Puisi

Aku sedih kau masih menulis puisi dari guguran daun, atau biji yang tersebar dari buah yang terkoyak itu. Puisi yang tidak lebih penting dari suara tertahan di paruh burung-burung. Yang sekedar teriak pada tembok dan pagar terkunci. Aku sedih membayangkan puisi-puisi itu serupa paku-paku di dinding kamar. Tak jelas akan kau gunakan untuk menggantung kunci atau topi dan kadang benar-benar hanya paku di dinding. Tak pelak kau ciptakan kosong di sana. Kau ciptakan kemuraman yang hanya bisa kau sendiri yang memandang. Aku tolak berulangkali untuk membaca puisi-puisimu itu. Bukan aku tak ingin menghargai upayamu. Aku menolak karena aku ingin membaca puisi-puisi darimu tentang betapa kejam hidup, betapa dendam bahasa, betapa rusak makna di tangan mereka yang pura-pura tidur tenang di atas penderitaan rakyat yang hidup kurang layak sebagai manusia. 2015

Suatu Malam di Februari yang Dingin

Suatu malam di Februari yang dingin terentang di atas lantai keramik bermotif art deco, tapi tak ada yang menyoal hujan deras sebelum Sin Cia. Seolah kemuraman adalah perasaan mengambang di bawah getar sayap burung di dalam sarang. Suatu malam di Februari yang dingin serupa percakapan yang hilang di antara mambang petang dan gelap yang buru-buru menyekap kita seperti kotak kaca. Memantulkan kembali di dada pertanyaan-pertanyaan sederhana: Betapa gamang kita menjalani hidup tapi betapa riang kita digelimang hal-hal semu. Dan di suatu malam, kita tiba-tiba seperti disadarkan: waktu merambat tapi cinta melambat. Tinggal lambaian bayang-bayang di lantai keramik Tionghoa. 2015

Praktisnya Aku Pekerja

Meski melintas dekat pagar taman, membawa tas berwarna hitam, dan kukenakan pula topi dengan logo tim basket Minnesota, aku bukan petualang biasa. Dalam kepala masih berkelindan angka-angka: pengeluaran perusahaan, margin dari penjualan dan hutang-hutang yang harus segera dibayarkan, semua dikotakkan seperti keramik di pedestrian ini. Kujumpai pula mereka - yang serupa denganku tetapi dengan wajah lebih tua - berjalan dengan begitu rupa. Kau boleh bilang seperti robot, tetapi aku lebih suka mengatakan: mereka berjalan kaku seperti sebuah program tengah menjalankan mereka di sebuah papan kehidupan. Meski melintas dekat pagar taman aku bisa bayangkan dari pompa air merah itu ada sepasang dewi penghiburan telanjang dada -- karena baju mereka selalu basah, dan dari bibirnya banyak kata-kata merdu (dan juga basah) membuat aku merasa harus segera sampai ke rumah, untuk sekedar mengecup bibir istriku yang terbuka menyambutku dengan ucapan: selamat malam. Karena mem...

Mengandalkan Ingatan

Jika perantauanku tak cukup memuaskanmu, panggil aku perahu kecil pada sebuah teluk. Pengetahuanku semacam ranting dan daun yang mudah patah dan menyerah pada angin. Aku hanya mengandalkan ingatan dalam upaya mengekalkan kau dalam seeratnya peluk. Sebab aku biji dan kau pencari penuh siasat memicing mata pada setiap lubang sisa ulat dan jika kau tak puas, kau akan mengempaskanku seperti ombak yang tak terbaca warna biru yang mabuk. 2015

Hari Ini Bergerak Begitu Halus

Hari ini bergerak begitu halus, seringan awan menyisih di atas perbukitan. Seperti getar pada kain layar di atas perahu kecil itu. Kau mungkin tak pernah tahu, beginilah jalan rindu. Jika aku bilang cinta berjalan di tepi waktu, karena kita merasa begitu perlu mengasingkan diri agar menjadi paham akan gerakannya. Menjadi mata yang jeli melihat lubang-lubang di biji kenari itu. Mengukur berapa lama ulat dari telur dan akhirnya memakan sedikit demi sedikit biji lalu keluar, jadi larva lalu jadi kupukupu. Ada baiknya, kita bayangkan tangan Tuhan membelai urat akar pohon. Membuatnya jadi kukuh, dan mau berbagi air dan hara untuk membesarkan pohon itu, berdaun lebat, dan berbuah pada akhirnya. Karena cinta ini memang harus begitu. Tak perlu kau merasa: waktu menjadikan kita tergesa. Menggerakkan setiap daya diri untuk membuktikan: aku terpilih untukmu. Satu dari ribuan bahkan jutaan orang yang pantas mendampingimu setiap hari. Ah, kau pasti tahu: waktu adalah pera...

Pembatas Halaman

Seperti buku, pantai membuka halamannya, kata-kata persembahan dari buih-buih ombak yang berderai di pasiran, ucapan terimakasih dengan cericip camar dan debur di karang, lalu dipilihkan untuk kita apa saja yang paling mungkin dijadikan puisi. Kau tak perlu bertanya: siapa pengarangnya, karena semua sudah dituliskan lewat jarak terbentang langit dan awan yang menyisih, desis peluh nelayan di kayu sampan, kita hanya perlu bersyukur dengan tak berpaling dari apa yang ada di sini. Semestinya, ada banyak akan dijumpa semacam kata sagangan, kata-kata pengenyak kesadaran. Supaya aku bisa menyebutmu lebih dari sekadar pembaca budiman. Sebab di pantai, di sore hari yang hening, kau jadi pembatas halaman buku ini -- penanda jika kelak aku harus kembali. 2015

1994

 Di bawah kakimu, aku membaca perang dari halaman surat kabar: negeri-negeri terbakar, dan perdamaian seperti seekor gajah di tengkuk -- ganjil dan mustahil. Di bawah kakimu, aku membaca buku dan mengangkat tangan. Berlaku seperti Si Pintar. Mencari musabab dari aneka kitab -- mengapa kita tidak pernah merasa dunia adalah milik bersama, dan hidup adalah sementara. Tiang-tiang dipancang berjauhan. Kau menari di sini, aku berdansa di sana. Keindahan yang terbelah di antara pepohonan dan hijauan serupa. Aku merasa ada tembok batu. Aku selalu mengira: kita tak mungkin bersatu. Dua ekor gajah di pelupukku dan pelupukmu bertarung diam-diam. Saling meniadakan. Kau berprasangka -- aku salah. Aku selalu menyesal: mengapa kita bertemu? Di atas tubuhku, kau adalah suasana kegembiraan semu. Hati yang membatu. Peristiwa-peristiwa yang dituliskan oleh surat kabar sebagai angka tahun belaka. 2015

In Osculo

Kabut hilang jerit, pulang ke bukit-bukit, mengulang masa-masa sulit. Masa di mana kuntum cemara dan seekor burung dara memekarkan suasana -- hati manusia. Kipas di tanganku tertutup, suara napas di lehernya terdengar gugup: mata siapa hendak menutup? Di antara kabut yang berlalu, dan kenangan yang bertalu -- aku termangu. Mengenang peristiwa lalu -- menjelang pagi, kau menciumku. Dan menyebut namaku sebagai domba di hari perlaluan dosa. Dan pokok-pokok cemara seperti doa-doa tabah. Dan seekor burung dara terbang di langit terbuka. Sedang cinta seperti pedang, urung tercabut dari sarung. 2015