Aku Sedih Kau Masih Menulis Puisi


Aku sedih kau masih menulis puisi dari guguran
daun, atau biji yang tersebar dari buah yang terkoyak
itu. Puisi yang tidak lebih penting dari suara tertahan
di paruh burung-burung. Yang sekedar teriak

pada tembok dan pagar terkunci. Aku sedih membayangkan
puisi-puisi itu serupa paku-paku di dinding kamar. Tak
jelas akan kau gunakan untuk menggantung kunci atau topi dan
kadang benar-benar hanya paku di dinding. Tak pelak

kau ciptakan kosong di sana. Kau ciptakan kemuraman
yang hanya bisa kau sendiri yang memandang. Aku tolak
berulangkali untuk membaca puisi-puisimu itu. Bukan
aku tak ingin menghargai upayamu. Aku menolak

karena aku ingin membaca puisi-puisi darimu tentang
betapa kejam hidup, betapa dendam bahasa, betapa rusak
makna di tangan mereka yang pura-pura tidur tenang
di atas penderitaan rakyat yang hidup kurang layak

sebagai manusia.

2015

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung