Potret Penyair Sebagai Ikarus

Aku mesti bersiap pada sebuah kejatuhan,
seperti halnya aku terkesiap bila mendengar
hal-hal yang remeh selalu dikaitkan dengan Tuhan.

Sajak-sajakku bukanlah sayap,
juga bukan yang dingin dan senyap.
Ada angin menyentuh cuping hidungmu,
sebening sebuah kidung itu.

Kidung yang kudengar sebelum meluncur
dari atas bukit jauh. Semacam pelipur
untuk hati yang hancur dan sakit tanpa sembuh.

Dengan sajak-sajakku, kutiti anak tangga
kehidupan. Bukan ke arah matahari tua,
juga bukan pada bulan yang sinarnya
rapuh pada sebuah telaga.

Aku memang merindukan yang tenang dan hijau seperti
padang -- di mana rusa dan ternak berhenti
sejenak. Untuk bisa menekuri seluruh peristiwa di masa
lalu, dan mensyukuri tubuh yang kian renta

di sulur waktu. Sulur yang tak henti menopang
harapan dan memanjangkan doa sampai pada
tepian kubur.

2015

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun