Peri Semak

Setelah membaca buku tentang Peri
yang hidup dalam lebatnya hutan pinus,
Mahmud merasa sedih, karena dia
tumbuh di gurun yang tandus.

Bulan sabit yang sudah redup tersenyum
melihat Mahmud yang gugup. Di luasan
pasir, bayang Mahmud dimainkan menuju
semak duri yang rimbun.

Mahmud lantas membayangkan dirinya
seperti Musa. Di depan semak duri
dia pun bicara,"Sebagaimana di pucuk pinus,
pasti kau pun ada di semak ini. Keluarlah,
Duhai Peri Semak!"

Bulan sabit mengingsutkan diri di
langit subuh. Mahmud pun bersimbah
peluh. Tiada kata "aduh" meski berulang
kali duri tak sengaja dia sentuh.

Sebelum azan berkumandang, pada semak
duri Mahmud pamit pulang. Baru saja dia
hendak berdiri, Peri Semak unjukkan
diri. "Rupanya kau yang mengganggu tidurku.
Pergilah, aku mau menampung embun untuk
mandi."

Mahmud tak mampu berdiri. Belum hilang
rasa terkejutnya, Peri Semak berujar lagi,
"Jangan kembali besok malam. Aku hendak
bercumbu dengan bulan."

2007

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung