Posts

Showing posts from September, 2007

Tarian Batu

Langit mengirim gerimis; jemarinya &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp membelai &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp &nbsp menitipkan &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp...

Tarian Kubur

Kudekap nyerimu dalam lukaku, kusingkap hidupmu dalam matiku, dan ditelingaku kaubisikkan sebuah nama; yang kuyakin dia yang alamatnya baru saja ada 2007

Tarian Sungai

Janganlah gelisah hatimu, hanyutkanlah daun maribang* di tubuhku; tubuh yang sungai, tubuh yang bergelombang. Dan kita pelesir; menerabas bebatuan, memapas lumut dan suplir, hingga kita terhempas di curug tujuh pancuran. Dan daun itu jatuh, di rambut seorang gadis cilik, yang lalu meremasnya, membentuk buih licin; sari daun yang kekuningan; "Hai teman, ayo jualan minyak-minyakan!" Dan kau menghilang dalam senyum kanak yang terkembang. 2007 maribang = kembang sepatu

Tarian Hujan

Kaukah itu pohon yang angkuh? Dedaunanmu luruh di punggung ibu yang terbungkuk saat menyapu Tak kau lihat sebutir airmatanya jatuh? Dan kau tahu? Aku tak tahan melihat tangisan. Maka kubiarkan dedaunan di pohon itu bergoyang, lalu luruh perlahan, sedangkan yang sudah terserak kubasuh hingga di got-got yang jauh. Yang tak kumengerti, ibu tetap menangis, bahkan kini ibu meratap! Teringat anak semata wayang yang hilang dilalu bandang Duhai, aku baru sadar; kaulah pohon keselamatan bagi ibu saat banjir besar, hanya saja di tanganmu genggam anak itu terluput! 2007

Tarian Angin

Aku suka meniup-niup bunga mangga; kelopaknya begitu mungil dan tersusun seperti tiara. Aku suka melihat mereka tersebar di udara hingga kau mengira ada butir hujan jatuh di rambutmu lalu tengadah. Aku suka dengan pipimu yang merah; setelah tak tahu ada sesiapa juga sesuatu yang membuat bunga itu luruh. Aku juga suka ketika kepalamu bergoyang berharap bunga yang singgah itu segera turun ; ke lantai basah. Aku tak pernah suka pada lantai basah; tubuhmu pernah terpeleset di situ, sebelum kau berteriak di tubuhku. 2007

Tarian Gurun

Biarkanlah denting musim sampai juga di lidah kotamu agar bayangku bergerak di sekujur tubuhmu, serupa angin menerbangkan debu reruntuhan usia tapi aku tak singgah di situ Sebab, kita pernah mengalahkan waktu ; ketika 13 pemuda menidurkan mimpi, meruntuhkan kotamu di gua-gua sunyi 2007

Jalan Ke Rumah Itu

"Inilah jalan ke rumah itu,"katamu. Dia hafal ada 7 ruas kelok pada jalan itu, dan pada kelok ke-3 ada pohon mangga, karena luka di kakinya didapat ketika dia turun secara cepat, tersebab ketahuan memetik buahnya tanpa izin si pemilik. Dan tanyaku, "Kapan terakhir kau mudik?" Kau mengingat tanggal di kepala surat, sebuah alamat yang tersesat, dan derit panjang dari ranjang berkarat. "Yang kutahu; tak ada lagi hujan di jendela, ibu tersenyum gembira, dan harum buah mangga terhidu juga di beranda." Kini, tertatih aku pada sebuah jalan yang ditunjuk olehnya. 2007

Dari Dalam Taksi

bukan airmata, hanya dahan yang bergoyang lalu sehelai daun luruh menerpa kaca menerka luka kaukah kutinggal atau aku perlahan jadi nafas tersengal sebelum mata terpejam? 2007

Menulismu, Puisi

Mimpi jeritkan luka ketika peluk selimut kusingkap, "Apakah yang telah kaujaga saat embun dan dingin kabut saling erat mendekap? Ada yang sedang merangkai rupa taman dari keping-keping kenangan, dan ada yang menamai setiap kembang dari kuncup luka yang terbilang. Lalu siapakah yang serakkan suratkabar juga membunuh siaran televisi hanya untuk melukar sebenar diri yang selama ini dikelabui? Wahai, kau mata yang terpejam dihalang segala kenyataan, dirajam pahit kehidupan, mengalirlah di basah darahku yang senantiasa resah untuk menuliskanmu 2007

Tulisan dari Seseorang yang Membaca Puisiku

Puisi Dedy Tri Riyadi dan Riwayat Ibu Saya membaca puisi yang ditulis Dedy Tri Riyadi ini di Pikiran Rakyat. Dua puisi ini ditekankan pada sosok ibu (si penyair?). Puisi pertama berjudul Dongeng di Kebun Mawar (2006), berikut isinya: Dongeng di Kebun Mawar dahulu ada tukang kebun yang pandai mendongeng tak dibiarkannya sekuntum mawar luruh begitu saja tanpa makna dongeng yang paling sering diceritakan adalah rupa si pemilik kebun seorang Ibu dengan bekas luka goresan duri lalu mawar itu layu dengan malu yang tak terkabarkan Sebagai pembaca yang buruk, saya belum tahu apa hubungannya antara tukang kebun dengan seorang ibu. Memang, keduanya dihubungkan oleh kebun mawar (tepatnya bunga mawar). Namun, hubungan apa yang menjalin keduanya? Seolah puisi ini berbicara tentang dua momen terpisah yang disatukan oleh kebun mawar. Tukang kebun yang suka mendongeng, dan cinta pada bunga mawar. Sedangkan si ibu adalah pemilik k...
Ketika Puisi menjadi Cermin catatan setelah membaca beberapa puisi hitamkah pagi tuan? saat bayanganmu memanjang, mengikuti dengusmu di tulang mana kau lencangkan bakti? tak nampakpun derapnya,apalagi derunya … : mungkin cermin yang kau butuhkan ,Tuan (Setakar Hujat Untuk Lelaki Kecut Berpupur – Doel MH) Membaca sajak dari Doel MH ini. saya membayangkan diri sebagai cermin yang secara eksplisit dikatakan oleh penyairnya pada baris terakhir puisi itu. Saya juga berusaha mewujudkan pemandangan yang ada. Pagi hitam, tatapan mata yang kosong, dan seterusnya. Dan jika mengacu kepada beberapa pertanyaan/pernyataan yang ada di bait-bait selanjutnya seakan-akan meng-gambarkan bahwa yang orang yang dimaksud dalam puisi ini telah hidup tak sesuai dengan harap-an si aku liris. Puisi adalah betul merupakan renungan pribadi si penyair terhadap apa saja. Maka dari itu isinya pun bisa bermacam-macam dari hal-hal yang pribadi sampai persoalan negeri. Lantas kemudian ada yang mengkotak-kotakkannya menj...

...

Jika belum sampai darah, luka tak bernama Jika belum sampai dada, cinta hanya rasa Jika belum sampai dia, aku lah tiada 2007

Sebenarnya Sepi

Kesepian adalah ular yang merayu di pohon apel itu, lalu kita seperti adam dan hawa terperangkap segala tipu daya yang dimilikinya. Dan ketika tersadar, sebuah pintu telah terbuka; saatnya kita rindu pada diri sendiri. Diri yang sepi; sebenarnya sepi. 2007

Tamasya Dalam Mata

Adalah petani tua menunggang rakit bambu terapung di sungai keruh di tangannya seekor merpati sayapnya bergerak-gerak mirip sekali riak sungai menggoyangkan dedaunan talas; selembar daunnya menyentuh kelopak mataku, memintanya untuk terbuka; &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp hidup jelas bukan mimpi &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp seperti merpati yang rindu &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp di langit terbang tinggi, &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp hidup ini adalah mata &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp yang selalu terbuka &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp mengerjapi sinar matahari &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp...

Risalah Awal Tahun

Kau mengantuk. Aku mabuk. Sibuk mencatat hari-hari tanpa hujan yang kuinginkan. Sedang jendela membiarkan sebuah tatapan liar. Ada rahasia dingin yang tak terkatakan. Januari meringkukkan mimpi yang hangat ; matahari senja di tubuh pantai yang putih. Lalu kau pun tertidur beralaskan hujan di balik jeruji kamar seperti payung terkembang dan tak lagi muram. Hijau, merah, ungu pelangi kulihat langit berbinar. Atau hujankah yang berwarna gelap? Januari tak alpa mencatat nama warna, atau hanya aku yang terlalu gembira? Aku hanya pengantuk yang ingin tidur!

Ramadan Pada Sebuah Puisi

Sungguh, pada setangkai lidi yang naik turun di permukaan mushaf terdengar suara dia yang memanggil namamu. Dia yang sudah lama terdiam seperti beduk tua yang murung, kehilangan lincah penalunya yang juga semakin renta. Sungguh, pada lentik jari-jari yang membalik halaman terbaca keremajaan yang pernah singgah, menggelar sajadah, dan mendengar khotbah sebelum bersiap menalu beduk di pojok surau untuk menghimbau-himbau. 2007

Gugur Bunga

Betapa hatiku takkan pilu, telah gugur pahlawanku Kerinduan ini, kekasih, hanyalah angin di pucuk kamboja sebelum matahari senja menyapa basah tanah dan bunga-bunga yang memekarkan kuntum. Betapa hatiku tak akan sedih, hamba ditinggal sendiri Payung hujan deras saja terkembang di langit, seperti mata yang mulai tergenang. Kami mengingat sebentuk rasa sakit; air yang menjarum di daun itu. Siapakah kini pelipur lara nan setia dan perwira Bunga yang gigilkan kuntum, seperti kami menahan senyum. Siapakah kini pahlawan hati Pembela bangsa sejati Embun segera terbaca dari kaca jendela; pesanmu yang tiba-tiba mengada! Telah gugur pahlawanku Tunai sudah janji bakti Adakah kehidupan yang menghidupkan kematian? Ataukah kematian akan mengekalkan kenangan? Gugur satu tumbuh sribu Tanah air jaya sakti Titik-titik warna pelangi terjadi saat hujan telah mati! 2007

Apakah Kau?

1/ Kenapakah kau jika aku Kenapakah mau tapi ragu Bukankah kau mau tapi aku ragu Atau kau ragu jika aku mau 2/ Ada yang lantas ada ketika apa Apa yang lantas apa walau ada 3/ Kita semua harus tuntas sebelum hapus segala kita 4/ Hanya, kau yang kuketuk walau aku yang kaubentuk 5/ Apakah kau pintu sehingga aku keluar, ataukah aku ragu sehingga kau menghindar? 6/ Apalah aku padahal kau 2007

Pada Sebuah Kenangan

Bagaimanakah sebuah kenangan membuat kita bertahan? Kenangan hanyalah bayang-bayang hitam pada sebuah badan jalan yang kita tapaki pada malam tanpa bulan. Aku mencari wajahmu. Wajah yang penuh luka. Namun kau tak pernah bisa memandangku dengan pandangan yang penuh iba. Maka biarkan saja aku berjalan, sebab kuyakin di depan sana ada sebuah nisan: tanda seberapa tahan kita berjalan!"

Puisi yang Dibasuh Pada Sebuah Koran Minggu

: Dino F. Umahuk Siapalah aku harus membasuhmu? Meski penyair mempersiapkan jalan bagi datangnya puisi, mengingatkan cinta dan kematian. Tapi puisi ini lebih dari sekedar katakata pedih. Seharusnya kau yang sepantas membasuh aku dengan setiap peluh. Kemudian turun seekor merpati; kau sebut itu mimpi, masuk pada pucat uban di kepala. Tapi apakah itu yang kauigaukan pada sebuah pagi yang begitu minggu? 2007

My Shoes by Charles Simic

My Shoes by Charles Simic Shoes, secret face of my inner life: Two gaping toothless mouths, Two partly decomposed animal skins Smelling of mice nests. My brother and sister who died at birth Continuing their existence in you, Guiding my life Toward their incomprehensible innocence. What use are books to me When in you it is possible to read The Gospel of my life on earth And still beyond, of things to come? I want to proclaim the religion I have devised for your perfect humility And the strange church I am building With you as the altar. Ascetic and maternal, you endure: Kin to oxen, to Saints, to condemned men, With your mute patience, forming The only true likeness of myself. Charles Simic, “My Shoes” from Charles Simic: Selected Early Poems. Copyright © 1999 by Charles Simic. Reprinted with the permission of George Braziller, Inc. Saya menerjemahkannya sebagai berikut : Sepatuku Sepatu-sepatu, wajah tersembunyi dari inti hidupku: D...