Posts

Showing posts from February, 2007

[Ngaji Puisi] Puisi yang Baik Bukan Sebuah Tahayul

Setelah hujan yang sangat deras mengguyur kota Surabaya dan di tengah kepekakan telinga akibat suara stage musik yang gempita akhirnya saya bertemu dengan Gita (yang kata Bang Hasan, tidak sehitam gambaran orang-orang kepadanya) dan Cak Bono (yang sudah hampir mirip dengan Giring Nidji) serta Bang Hasan Aspahani (yang sudah gondrong dan bercambang) sebagai "tuan rumah" di depan Grand Hotel. Obrolan kami tak pernah jauh dari puisi. Cak Bono mengemukakan bahwa sebuah puisi yang baik bukanlah sesuatu yang tidak serta merta dikatakan orang "Itu puisi yang bagus! Titik. Tak ada alasan lebih lanjut." Sebuah puisi yang baik tetaplah harus memfungsikan alat-alat puitika dengan baik pula. Untuk itulah seorang penyair tetap harus mengetahui teori-teori yang berkaitan dengan penulisan sebuah puisi meskipun ketika dia sedang menulis sebuah puisi dia tidak lagi berpatokan pada teori tersebut melainkan menulis dengan hati. Sebagai sebuah karya estetis, puisi difungsikan untuk...

[Iseng Asyik] Ketika Saya Bertemu Puisi

Jika orang lain menganggap puisi sebagai "anak", maka saya menganggap puisi adalah "anak yang hilang" ketika diajak berjalan-jalan oleh orangtuanya di sebuah pusat perbelanjaan. Sebagai pembaca, saya lantas menganggap diri saya sebagai "petugas informasi dari pusat perbelanjaan tersebut. Tidak mudah "mengorek informasi" dari si anak hilang itu. Ada kalanya dia ditemukan tengah menangis histeris, atau diam tak berupa. Dan saya harus mengerahkan jurus-jurus jitu untuk membujuknya. Minimal sebuah permen saya keluarkan dari kantong saya untuk mengajaknya bercerita. Saya rasa bukan salah saya ketika tak berhasil mengajaknya bercerita tentang dirinya, namanya, dan nama orangtuanya, juga alamat rumahnya lantas saya mengumumkan saja ciri-ciri si anak itu dengan pengeras suara. Sebab pada setiap puisi sudah mulai timbul sifat-sifat yang tidak kompromis terhadap pembacanya. Tetapi jika dia bisa kompromi, dapat bercerita kepada saya, maka tak segan pula say...

Joko Pinurbo Menulis Puisi Pendek Untuk Dedy Tri Riyadi

KEPADA DEDI tadi aku mampir ke tokomu. kulihat kau sedang dicoba oleh sepatu baru. (2007) - Joko Pinurbo, dalam sebuah "warung" Yahoo!

Tali Sepatu

: Setiyo Bardono Musim hujan selalu disalahkan, di mana sepatu tergantung lebih sering dari biasanya Saat itulah sepatu terpisah dari talinya, yang mempererat kaki dan sepatu ketika berjalan "Sedihkah kamu?" Aku coba menghiburnya. Keduanya. "Apa kamu tak sedih, sedang tidak bisa bersepatu?" Sepatu dan tali sepatu selalu bahu-membahu Hujan tetap turun, mungkin sudah saatnya aku, sepatu, dan tali sepatu merasakan basah dan dingin bersama-sama walaupun, kenyataannya, terpisah.

kepada ibu

1/ di ujung tekak, tak akan ada sajak sebab aku selalu ingin berdendang sebuah lagu sunyi 2/ di perut bumi, tak akan lahir puisi sebab aku selalu ingin rahimmu sebuah sakit perih 3/ di puncak bukit, tak akan ada nama maka aku merangkaki jalanmu sebuah ladang padi

perjalanan pulang

sebelum pulang, sepatu masih berdebu "Ibu sudah menunggu, lekas bergegas!" aku tak sabar, bukan karena lapar sesekali sepatu gerutu kata "tapi..." lewati hutan jati, aku menghibur diri mengukur tinggi jamur yang tak lelah memanen tiap serasah basah lalu,..ah! kenapa aku tak lupa masa lalu? perjalanan pulang tak pernah lekang dari kenang yang terus berbayang tiba di rumah Ibu, aku tak mampu sebutkan namaku seperti dulu lalu sepatu kembali berkata "sudah kau tepis debu di tubuhmu?"

bukankah kau selalu risau

: kepada pendar bulan kenapa kau sebut malam, jika kelopak mata tak beranjak pejam? lantas apa yang kausimpan, sesuatu yang tak seharusnya kutahu? mungkin cakram kenangan itu retak jatuh di bening embun yang terserak haruskah kutulis ulang kisah tentang pagi, tapi bukankah kau selalu risau hingga sabitmu timbul tenggelam? mungkin bundar kesejatian pepat bergulir senantiasa di sembarang tempat lantas kenapa kau jelang gelap? hanya untuk buktikan aku layak untuk menatap

kusapa kau

: sapardi djoko damono di tubuh hujan, selalu ada rintik maka kusapa kau dengan basahnya bisik di panas api, abu pun kerlip di tubuhku, bayangmu tak pernah kasip

kedasih pun bernyanyi

hujan menoreh di batang jati gigilkan musim dengan sederhana hingga deretan pucuk berubah warna dan petani riuh pagari bunga kudengar kedasih pun bernyanyi lagu musim di tunas hari

sedang kau menjelma pagi

malam tak pernah simpan mimpi dan dilenakannya seluruh tidurku kamar memeram ceritanya sendiri di antara waktu 'tuk abadikan sebentuk rindu : mungkinkah itu kau? lampu mengenang sebuah bayang sedang kau menjelma pagi aku harus bergegas kembali

pagi di hutan jati

pagi di hutan jati, asal mula hilang mimpi dan kita masih malas mandi di musim penuh daki sementara matahari kian tinggi, masih kita mengigau mimpi bermain di pucuk jati, sibuk menepis embun hati

wangi pagi

wangi pagi tidurkan malam di sebelah barat matahari hingga pucuk pucuk bernyanyi dan hutan bermimpi tentang aku yang luruh di rimbunan serasah basah dan gelisah

dan di ambang

memandang ke luar jendela berusaha mengenali setiap kata juga mengira siapa mereka di sana menilik ruang bilik ini, menelisik segala bisik tentang lirih perih di balik diri, di sekitar hati dan di ambang, ruang antara saya sesuaikan bunyi setiap luka dengan sebuah kata

minum kopi bersama

secangkir kopi lelaki menggelegak di selangkang panci, dan desis panjang bersahutan sebelum terdengar suara jakun naik ternyata dua senyum itu lebih manis dari dua sendok gula yang tak larut semua di dasar cangkir karena bapak sering pulang ibu pun tersenyum senang hingga aku bisa ikut minum kopi bersama

Tukang Sepatu 2

sekian lama aku dibuai irama langkah yang berderap hingga tak tahu arah menghadap dan mataku rasanya lebih mengenali setiap tikam impian daripada nikmatnya perjalanan jadi maafkan jika aku bertanya di pintumu, "kenapa semua jalan sepertinya menuju kepadamu, wahai Tukang Sepatu?

Tukang Sepatu 1

Aku hanya bertemu Si Tukang Sepatu, saat sepatuku robek dan merengek tak kuat menginjak batu. "Perlu sepatu baru atau kuperbaiki saja yang ada?" Dia sangat senang menyambutku datang. padahal aku jarang sekali menyapa. Dengan malu-malu, kubilang "Terserah." Sambil tersenyum, dia berkata, "Jangan terlalu pasrah." Sesaat berikutnya, dia tak lagi ramah, "Kuatkan saja kakimu!", katanya sambil berlalu.

Pupur Lumpur

Karena sudah mulai lamur, bapak mengira lumpur yang berjamur di tepi kasur adalah pupur ibu yang jatuh tertabur. "Kenapa ibu begitu ceroboh? Berhias di tempat tidur!" Maklum jaman ekonomi sulit, hal kecil seperti ini mudah menyulut emosi Dag-dig-dug hati ibu ketika dipanggil masuk kamar, dipikirnya bapak akan marah besar. Ternyata bapak cuma minta dicarikan kacamata, sebab dia ingin sekali memastikan, itu pupur atau apa.

Pada Setiap Kelopak Mawar

Yang kau sebut mawar, hanya kelopak yang mekar sebelum kaukenali setiap duri Mungkin di malam nanti, wanginya hanyalah tubuhmu yang bersanding peluh Apakah duri begitu perih hingga kudengar kau merintih? sedang pada setiap kelopak mawar tawamu belumlah kelar Bagiku, kau lah mawar dan juga duri yang memagari sebab aku hanyalah peladang di kebun ini

Lautku akan menggandeng tanganmu

jangan kau katakan senja, jika lautku tak pernah mencium matahari dan awan berpayung di gigir hari laskar pengapit untuk kehadirannya jangan dulu beranjak dari pantai ini, sebab lautku akan menggandeng tanganmu menitipkan ombak selamat jalan pada harimu yang berkarang aku masih ingin mengenang merahnya cakrawala, sebagaimana matamu sebelum tangis (sesuatu yang kaupanggil hujan) dan sebelum hitam itu datang, saat laut dan langit bersatu cepatlah kau tuliskan nama di pasir pantai ini hingga sebelum kau pergi, aku akan menarikan hujanmu di karang hari sambil menyerukan nama itu

Pedagang Celana

:joko pinurbo /1/ Musim hujan seperti ini, celana jadi sering basah. Ibu menasehatiku untuk tidak sering berganti celana. "Pakai dulu yang ada, biar kotor tak mengapa." Saat hendak membeli celana pengganti, pedagang celana malah memuji celanaku ini. "Celanamu kotor sekali, bolehkah aku beli?" Teringat petuah ibu, aku tak jadi bertransaksi. Kuberikan saja celana ini padanya. Sekarang aku tak lagi risau tentang hujan, basah dan celana kotor. Sebab yang ada hanyalah basah di tubuhku saja. /2/ Pedagang celana datang lagi padaku, "Celanamu tak cukup untukku. Ini aku kembalikan lagi." Di tangannya, celana terkulai lemah, kotor, dan tak berdaya. Aku tak mungkin menuduh dia yang merusaknya sebab pasti koleksi celananya lebih banyak dari kepunyaanku, paling-paling dia hanya mencoba sekali celana itu. Dia tak banyak berkata setelah menyerahkan celana itu kepadaku. Aku pun tak sempat menanyakan siapa namanya. Sebelum kulempar celana itu di keranjang sampah, ada y...

aku melukis wajahmu

1/ masih dalam goresan kelabu aku melukis wajahmu sepotong kanvas bisu akan menjadi pelaminan itu apakah warna lain begitu jauh atau tanganku tak kuasa merengkuh? sepertinya mereka sembunyi dari hitam - putih mata seperti wajah yang berdusta tentang rona pelangi di atas sana tinggallah kelabu, warna hatiku, bukan matamu 2/ seperti itukah metafora untukmu? saat aku menangkap Picasso, perangkapkan wajahmu kotak-kotak dari garis bisu tapi ah! jerawatmu inginkan pointilisme Monet dan mungkin rindu ini adalah jeritan tak bersuara dari pekuburan Van Gogh belaka wajahmu, wajah waktu yang membatu di hatiku

Golgota

Berjalan di kotamu, seperti mendaki golgota bersama rombongan prajurit Romawi bersenjata cemeti Pada setiap tempat yang dulu pernah kusinggahi ada luka yang begitu perih, dan mungkin kau tersenyum mengira arti sebuah pengorbanan Seperti tanda cinta yang melingkari nama kita yang kautulis di kayu itu, kali ini kuraba dengan duka, serupa mahkota duri menebus otak di balik kulit kepala - aku tak mampu melupakannya. Langkah pun tak akan tegak lagi dan kotamu terasa begitu angkuh hingga sepatuku terasa beku tersebab perpisahan lalu telah menggoyahkan segala rasa percaya di hati. Dan ketika ku berjalan ke rumahmu, kekasih tak yakin kau akan menerima diriku hingga sekali lagi, aku harus berseru "kenapa kau tinggalkan aku?"

tenggelam

aku tak sedang melawan laut, birahi itu, ketika Archimedes berteriak "eureka!" sebab arus selalu sebutkan namamu air mata di pipi pantai tak tinggalkan tetapak tanda dua pasang kaki yang menutup rapat tak kau dengarkah aku meratap? aku tak sedang menahan pasang, cinta itu, kepada bulan di langit cerah berpeluk purnama dan gelombang menyusup di dadamu sebagaimana pasang selalu bercumbu laut dan kau pasti tahu, aku bukanlah Archimedes itu yang mulutnya tak kenal kata : tenggelam

hujan sepatu

di musim hujan, sepatu selalu basah dan aku pun terpaksa lebih sering untuk melepasnya. "biar cepat kering," ujarku dan sepatu tidak pernah tidak setuju berpisah sementara dengan kaki yang hendak berjarak dengan basah hujan tak juga mau menyalahkan aku yang ingin berdiam di dalam kering aku berharap suatu waktu ada hujan sepatu dimana dia kering dan aku bisa berganti-ganti sepatu sesukaku

dan yang...

1/ dan yang terbaik adalah milik sementara engkau bersisihan 2/ dan yang terharap adalah sepi sedang rindu bersebelahan 3/ dan yang hadir adalah mimpi bersamamu tak ada lagi ragu 4/ dan yang mimpi hanyalah kamu sebab aku terlelap bisu

musim burung

di depan liang kubur para pelayat terpekur satu satunya keranda sudah lama dibuka "maafkan kami, tercekam begitu dalam. dukamu tidaklah abadi. dukamu selalu kunanti," bisik mereka pada gemerisik gerimis dan hujan mewujud burung ratusan bahkan ribuan bertengger di pagar, atap rumah, dan puncak gedung tinggi tak sedikit yang riuh di jalanan suara mereka banjir berdebur di dada kubur para pelayat pun mundur satu satunya keranda sudah lama terbuka masih perlukah jendela? tempat aku memandang burung burung itu mencari tahu kemana mereka berlalu "mungkin ini musim burung, yang kau puisikan di batu batu karang," para pelayat itu mulai berbual lautan pelayat, lautan burung menghujan di tepi kubur

salah satu puisiku dibahas oleh Hasan Aspahani

[Tadarus Puisi # 021] Adakah Takaran Permainan yang Pas? Adakah Sajak Dedy Tri Riyadi adakah debar hujan terbaca dari getar hujatku? hingga dingin merupa ingin yang mewaktu adakah buram cuaca terlukis dari muram wajahku? dan rintiknya menjadi detik yang tak bertalu adakah luapan hari terbilas sapuan jariku? sedang cakungan tubuh rebah di cekungan subuh JIKA sajak adalah permainan, maka Dedy Tri Riyadi dengan sajak "Adakah" telah menunjukkan kemampuan bermainnya dengan baik. Dia menikmati sekali permainan sajaknya. Dan yang lebih penting lagi, pembaca pun bisa ikut merasakan kenikmatan permainannya. Setidaknya pembaca itu adalah seorang saya. Sajak tiga bait (enam baris) ini mengasyikkan karena, ditulis dengan memaksimalkan beberapa jurus perpuisian. Lihatlah bagaimana kata "debar" disusul "getar", "hujan" diselipkan lalu disahut oleh "hujat", dan "dingin" ditingkahi oleh "ingin", dan k...

adakah

adakah debar hujan terbaca dari getar hujatku? hingga dingin merupa ingin yang mewaktu adakah buram cuaca terlukis dari muram wajahku? dan rintiknya menjadi detik yang tak bertalu adakah luapan hari terbilas sapuan jariku? sedang cakungan tubuh rebah di cekungan subuh

payung hujan

yang terkembang di kala hujan terkulai kuyu di belakang pintu dan sebelum aku melangkah jauh kudengar dia menyapa riuh "adakah kau ajak aku berteduh?

di puncak bukit

di puncak bukit gembala itu bernyanyi syair gelisah hutan hutan basah di mana matahari menyendiri dan kami menghindar berlari "ke kota, ke kota!" kami mencari cahaya yang beda merumput kata di petak kaca sesekali juga pergi ke pantai belajar menabuh badai untuk menipu segala damai ketika malam, kami pulang diam-diam agar tidur sang gembala tak terganggu ternyata sepeninggal kami, gembala naik ke puncak gunung dan besok di seluruh kota didirikan panggung panggung untuk menceritakan kisahnya dan tentu saja nama kami tak ada di sana