Pedagang Celana
:joko pinurbo
/1/
Musim hujan seperti ini, celana jadi sering basah.
Ibu menasehatiku untuk tidak sering berganti celana.
"Pakai dulu yang ada, biar kotor tak mengapa."
Saat hendak membeli celana pengganti,
pedagang celana malah memuji celanaku ini.
"Celanamu kotor sekali, bolehkah aku beli?"
Teringat petuah ibu, aku tak jadi bertransaksi.
Kuberikan saja celana ini padanya.
Sekarang aku tak lagi risau tentang hujan,
basah dan celana kotor. Sebab yang ada
hanyalah basah di tubuhku saja.
/2/
Pedagang celana datang lagi padaku,
"Celanamu tak cukup untukku. Ini aku
kembalikan lagi."
Di tangannya, celana terkulai lemah,
kotor, dan tak berdaya.
Aku tak mungkin menuduh dia yang merusaknya
sebab pasti koleksi celananya lebih banyak dari
kepunyaanku, paling-paling dia hanya mencoba
sekali celana itu.
Dia tak banyak berkata setelah menyerahkan
celana itu kepadaku. Aku pun tak sempat
menanyakan siapa namanya.
Sebelum kulempar celana itu di keranjang
sampah, ada yang mengejutkanku!
Nama seorang penyair besar negeri ini
tertulis rapi di pantat celana.
/3/
Lagi-lagi aku bertemu dengan pedagang celana itu
dan selalu saja, dia menggodaku dengan berbagai
merek celana meskipun aku yakin dia tak betul-betul
menghafal setiap bentuknya.
Kali ini kutanyakan soal nama, sesuatu yang tak
pernah dikenalkannya padaku secara langsung.
Tapi dia hanya tertawa,"Nama itu seperti daki,
luntur jika kau mandi."
Lantas aku berkaca pada setiap lekuk di tubuhku,
sepertinya memang sudah waktunya untuk mandi.
Maka kuajukan pertanyaan lebih sederhana
kepadanya,"Bisakah kau mengajari cara mandi
yang baik dan benar?"
Dia tertawa lebar sekali,
"Aku masih takut mandi sendiri."
Di tengah derai tawa, tersebut nama ibu,
yang tangannya selalu meluputkan setiap daki,
setiap dia mandi.
/1/
Musim hujan seperti ini, celana jadi sering basah.
Ibu menasehatiku untuk tidak sering berganti celana.
"Pakai dulu yang ada, biar kotor tak mengapa."
Saat hendak membeli celana pengganti,
pedagang celana malah memuji celanaku ini.
"Celanamu kotor sekali, bolehkah aku beli?"
Teringat petuah ibu, aku tak jadi bertransaksi.
Kuberikan saja celana ini padanya.
Sekarang aku tak lagi risau tentang hujan,
basah dan celana kotor. Sebab yang ada
hanyalah basah di tubuhku saja.
/2/
Pedagang celana datang lagi padaku,
"Celanamu tak cukup untukku. Ini aku
kembalikan lagi."
Di tangannya, celana terkulai lemah,
kotor, dan tak berdaya.
Aku tak mungkin menuduh dia yang merusaknya
sebab pasti koleksi celananya lebih banyak dari
kepunyaanku, paling-paling dia hanya mencoba
sekali celana itu.
Dia tak banyak berkata setelah menyerahkan
celana itu kepadaku. Aku pun tak sempat
menanyakan siapa namanya.
Sebelum kulempar celana itu di keranjang
sampah, ada yang mengejutkanku!
Nama seorang penyair besar negeri ini
tertulis rapi di pantat celana.
/3/
Lagi-lagi aku bertemu dengan pedagang celana itu
dan selalu saja, dia menggodaku dengan berbagai
merek celana meskipun aku yakin dia tak betul-betul
menghafal setiap bentuknya.
Kali ini kutanyakan soal nama, sesuatu yang tak
pernah dikenalkannya padaku secara langsung.
Tapi dia hanya tertawa,"Nama itu seperti daki,
luntur jika kau mandi."
Lantas aku berkaca pada setiap lekuk di tubuhku,
sepertinya memang sudah waktunya untuk mandi.
Maka kuajukan pertanyaan lebih sederhana
kepadanya,"Bisakah kau mengajari cara mandi
yang baik dan benar?"
Dia tertawa lebar sekali,
"Aku masih takut mandi sendiri."
Di tengah derai tawa, tersebut nama ibu,
yang tangannya selalu meluputkan setiap daki,
setiap dia mandi.
Comments