salah satu puisiku dibahas oleh Hasan Aspahani

[Tadarus Puisi # 021] Adakah Takaran Permainan yang Pas?

Adakah
Sajak Dedy Tri Riyadi

adakah debar hujan terbaca dari getar hujatku?
hingga dingin merupa ingin yang mewaktu

adakah buram cuaca terlukis dari muram wajahku?
dan rintiknya menjadi detik yang tak bertalu

adakah luapan hari terbilas sapuan jariku?
sedang cakungan tubuh rebah di cekungan subuh



JIKA sajak adalah permainan, maka Dedy Tri Riyadi dengan sajak "Adakah" telah menunjukkan kemampuan bermainnya dengan baik. Dia menikmati sekali permainan sajaknya. Dan yang lebih penting lagi, pembaca pun bisa ikut merasakan kenikmatan permainannya. Setidaknya pembaca itu adalah seorang saya.

Sajak tiga bait (enam baris) ini mengasyikkan karena, ditulis dengan memaksimalkan beberapa jurus perpuisian. Lihatlah bagaimana kata "debar" disusul "getar", "hujan" diselipkan lalu disahut oleh "hujat", dan "dingin" ditingkahi oleh "ingin", dan kata bentukan "merupa" disanding dengan "mewaktu". Permainan itu dilakukan di sepanjang bait, dari bait ke bait, tanpa jadi membosankan.

Bila itu terlihat mudah, sesungguhnya tidak, karena cara menyajak seperti ini gampang sekali tergelincir. Pembaca bisa menuduh, "ah, ini hanya permainan mengutak-atik kata demi pencapaian esetetika kosmetika saja." Ya, itu risiko. Dan Dedy entah telah memperhitungkan dengan cermat atau tidak, menurut saya dia bisa mengelak dari tuduhan itu. Dia telah berhasil mengantar sajaknya pada esensi, pada makna.

Jika sajak ini harus dipahami dengan mengaitkannya kepada konteks hujan dan banjir di Jakarta, tempat ia bermukim, maka Dedy pun telah pula menunjukkan keberhasilan lain: ia tidak lagi menjadi pemotret kenyataan yang ia hadapi. Ia telah melihat ke atas kenyataan itu, mengangkat sajaknya sehingga ada ruang kosong antara sajak dan kenyataan yang hendak dirangkum. Begitulah semestinya sajak yang baik. Dia memurnikan peristiwa sehingga yang tinggal adalah esensi yang kelak diuji oleh waktu dan mungkin akan abadi. Banjir boleh berlalu dan kita lupa, tapi sajak itu akan bertahan dan menawarkan renungan dan pemaknaan lain.

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung