[Iseng Asyik] Ketika Saya Bertemu Puisi

Jika orang lain menganggap puisi sebagai "anak", maka saya menganggap puisi adalah "anak yang hilang" ketika diajak berjalan-jalan oleh orangtuanya di sebuah pusat perbelanjaan. Sebagai pembaca, saya lantas menganggap diri saya sebagai "petugas informasi dari pusat perbelanjaan tersebut.

Tidak mudah "mengorek informasi" dari si anak hilang itu. Ada kalanya dia ditemukan tengah menangis histeris, atau diam tak berupa. Dan saya harus mengerahkan jurus-jurus jitu untuk membujuknya. Minimal sebuah permen saya keluarkan dari kantong saya untuk mengajaknya bercerita.

Saya rasa bukan salah saya ketika tak berhasil mengajaknya bercerita tentang dirinya, namanya, dan nama orangtuanya, juga alamat rumahnya lantas saya mengumumkan saja ciri-ciri si anak itu dengan pengeras suara. Sebab pada setiap puisi sudah mulai timbul sifat-sifat yang tidak kompromis terhadap pembacanya.

Tetapi jika dia bisa kompromi, dapat bercerita kepada saya, maka tak segan pula saya katakan pada orangtuanya nanti tentang kehebatan dia terhadap situasi yang sulit di mana dia berusaha mengatasi kesendiriannya di tengah keramaian.

Mungkin pengandaian saya ini terasa hambar buat orang lain. Bahkan terasa dangkal dan "ngasal". Namun yang saya ingin sampaikan seorang petugas informasi telah berusaha maksimal dari membujuk, menenangkan, dan mengorek informasi dari seorang anak. Dari sisi usia, dia telah merendahkan derajatnya dari seorang dewasa hingga bisa berinteraksi tanpa kesan yang memaksa pada seorang anak. Ini sesuatu yang tidaklah mudah untuk dilakukan oleh saya sendiri.

Salam Puisi.

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung