[Ngaji Puisi] Puisi yang Baik Bukan Sebuah Tahayul

Setelah hujan yang sangat deras mengguyur kota Surabaya dan di tengah kepekakan telinga akibat suara stage musik yang gempita akhirnya saya bertemu dengan Gita (yang kata Bang Hasan, tidak sehitam gambaran orang-orang kepadanya) dan Cak Bono (yang sudah hampir mirip dengan Giring Nidji) serta Bang Hasan Aspahani (yang sudah gondrong dan bercambang) sebagai "tuan rumah" di depan Grand Hotel.

Obrolan kami tak pernah jauh dari puisi. Cak Bono mengemukakan bahwa sebuah puisi yang baik bukanlah sesuatu yang tidak serta merta dikatakan orang "Itu puisi yang bagus! Titik. Tak ada alasan lebih lanjut." Sebuah puisi yang baik tetaplah harus memfungsikan alat-alat puitika dengan baik pula. Untuk itulah seorang penyair tetap harus mengetahui teori-teori yang berkaitan dengan penulisan sebuah puisi meskipun ketika dia sedang menulis sebuah puisi dia tidak lagi berpatokan pada teori tersebut melainkan menulis dengan hati.

Sebagai sebuah karya estetis, puisi difungsikan untuk dua hal besar yaitu keagungan dan keindahan. Keagungan merujuk kepada betapa kecilnya aku di tengah alam yang penuh dengan karya-karya Tuhan, AKU yang lain. Sedangkan untuk sebuah keindahan, sebuah puisi haruslah memenuhi kriteria keindahan itu sendiri. Sebuah keseimbangan. Demikian Cak Bono mengutip teori Imanuel Kant pada awal pembicaraan.

Keseimbangan alat-alat puitika di dalam sebuah puisi adalah tolok ukur kritikus untuk menilai baik atau tidaknya sebuah puisi. Dan dari sini lah kritikus bisa melihat kedewasaan seorang penyair. Seorang penyair muda biasanya terlalu tergesa-gesa dalam menulis hingga dalam tubuh puisinya banyak ditemukan pertanyaan retoris, enjabemen, dan metafora yang belum sampai pada tahapan simbolisme. Untuk itu, mengutip penjelasan beberapa penyair seperti Totok St. Radik dan juga Joko Pinurbo dalam beberapa kesempatan, penyair haruslah mau berlama-lama menimbang dan menimang puisinya sebelum dikatakan "menjadi".

Penggunaan kalimat langsung berupa pertanyaan atau penggunaan tanda baca dan enjabemen, sebaiknya harus sangat diminimalisir dalam penulisan sebuah puisi karena pada hakikatnya puisi adalah sebuah pernyataan retorik. Hingga akhirnya "klop" dengan penjelasan ironi dan paradoks yang selama ini dijelaskan oleh Bang Hasan Aspahani yang menurutnya sangat sulit bagi dia untuk menjelaskan ketika banyak orang menanyakannya. Nilai paradoksal sebuah puisi ternyata ada pada tingkat ketika sebuah puisi sampai pada nilai retorisme-nya. Ambiguitas, dan tak
berkesimpulan, serta dilema bagi pembacanya. Tak ada solusi ketika pembaca mencoba mencari maknanya. Gampangnya, menurut hemat saya, sebuah puisi itu tidak merupakan sebuah "garis lurus antara titik A dan titik B", dan bukanlah pernyataan "jika A maka B".

Selebihnya, Cak Bono wanti-wanti bahwa pernyataannya dalam obrolan malam itu janganlah terlalu diumbar karena akan menjadi dilema bagi seorang penyair muda. Mereka bisa jadi melemah atau malah bisa muncul semangat yang menggebu untuk selalu belajar hingga sampai pada tingkatan menulis dengan memenuhi semua kriteria yang digunakan oleh kritikus untuk menilai sebuah puisi.

Kembali pada "teori anti teori" : "Menulislah dengan Hati" yang sering kita dengar dari para penyair yang lebih senior, sebaiknya hal-hal seperti yang Cak Bono utarakan meskipun harus diresapi tetapi lupakanlah ketika kita menulis puisi - jangan dijadikan sebagai beban ketika kita menulis.

Salam Puisi.

Comments

Anonymous said…
syirik aja..! khan emang aku gak item item banget om..!

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung