[IsengAsyik] Potret yang Buram, Puisi yang Transparan
Kali ini, saya iseng melihat-lihat beberapa puisi yang dipajang di warung-puisi. Dan benar bagaikan sedang dalam sebuah perjalanan, tiba-tiba saya dikejutkan oleh puisi yang saya anggap sebagai sebuah potret.
Dalam obrolan singkat beberapa waktu lalu, seorang teman mengatakan bahwa pada suatu ketika, dunia puisi Barat dikejutkan oleh puisi Timur (Cina dan Jepang) yang cenderung bersifat potret belaka dari sebuah suasana yang sedang terjadi dalam penciptaan puisi tersebut. Lantas pertanyaannya, adakah makna lain dari puisi yang berciri seperti itu? Bagi pelaku Zen, ada suasana yang bisa direnungi dari deretan kata dalam puisi suasana seperti itu.
Ambil contoh satu haiku Basho seperti ini;
Furu ike ya
kawazu tobikomu
mizu no oto
kira-kira diterjemahkan;
Kolam tua
Katak melompat
Suara air
Ada gangguan di telinga orang yang bermeditasi ketika suasana di sekitarnya tiba-tiba terusik bebunyian air yang ditimbulkan lompatan katak ke dalam kolam yang tenang. Bisa dibayangkan jika orang itu adalah anda, yang sedang mencari ketenangan, kesunyian, lalu mendadak konsentrasi anda buyar karena hal sekecil itu?
Hal yang sama, ketika surgadaim melihat seorang emak-anak yang mengetuk kaca mobilnya di sebuah perempatan di kota Surabaya. Tiba-tiba saja dia teringat pada Seno Gumira Adjidarma yang telah menulis buku “Affair, Obrolan Tentang Jakarta.” (Buku Baik, Yogyakarta, 2004) Di mana di dalamnya ada cerita "Bayi dalam Gendongan: Sebuah Teater Jalanan".
Tiba-tiba saja, gairah berpuisinya mengalir deras. Lalu terciptalah puisi yang menurut hemat saya memberikan potret bagi kita tentang suasana sebuah jalan di Surabaya.
Atribut Jalan Raya 1
'Seorang ibu membawa bayi di perempatan. Tangannya menengadah dengan wajah memelas, tangan itu menyentuh kaca jendela mobil yang tertutup.' *)
Pucuk-pucuk tiang lampu lalu lintas
Jadi semacam antena yang sebar signal
Siap sebarkan segerombol emak-anak
Mencoba ketuk jendela, atau kita?
Jalan raya jadi monumen
Bagi mereka yang bekerja
Tunggu tanda merah dari ujung tiang
Tunggu tangan yang mengulur koin
Tak peduli wajah dari dalam yang acuh
Jalanan Surabaya, juga yang lain
Membuka ruang jadi peluang
Manusia-manusia dari entah
Yang seolah saling berbagi
Entah berbagi resah atau risih
*) Dikutip dari "Bayi dalam Gendongan: Sebuah Teater Jalanan" yang termuat dalam
buku "affair, obrolan tentang jakarta", Seno Gumira Ajidarma, 2004, Penerbit Buku
Baik, Yogyakarta.
Pada bait pertama, disajikan potret di mana peristiwa itu terjadi secara jelas. Di mana kita temukan tiang lampu lalu lintas? Tentunya di sebuah persimpangan entah pertigaan, perempatan, atau simpang lima dsb. Lalu terjadi peristiwa pemicu lahirnya puisi ini, emak-anak yang mengetuk jendela mobil.
Bait kedua, masih menurut hemat saya, masih berkutat dengan peristiwa itu. Penulis berusaha menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dan hal ini tampaknya tidak berusaha menjernihkan apa yang sedang dirasakan oleh penulis bahkan pembaca dengan situasi yang ada. Pun di bait terakhir, saya masih belum menemukan apa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penulis dengan karya-nya ini. Bagi saya, penulis malah berusaha memburamkan potret yang tersaji hari itu dengan ketidakjelasan maksud penulisannya.
Di hari-hari lalu, saya sering mendeklamasikan sajak “Gadis Peminta-minta” karya Toto Sudarto Bachtiar (alm.) dan tanpa terasa sering air mata mengalir diam-diam di atas pipi saya yang waktu itu belum mengalami berjerawat. Dibandingkan dengan karya surgadaim ini, kata-kata Pak Toto sangatlah sederhana. Tak ada metafora yang bertele-tele dalam mengisahkan bagaimana pahitnya hidup sebagai peminta-minta. Betapa tegas digambarkan potret diri sang gadis peminta-minta itu, lengkap dengan kaleng rombeng yang digunakan untuk menampung derma dari orang lain. Dan dari gambaran yang jelas itu, kita sebagai pembaca dipancing rasa iba-nya. Jelas maksud penulisan puisi itu.
Sebuah puisi bisa saja gambaran jelas pada sebuah suasana, tetapi kita, pembaca, dimaksudkan mencari tahu apa yang sesungguhnya terasa di sana. Semakin jelas potret, semakin tidak transparan makna sesungguhnya, sehingga puisi itu bisa multitafsir tergantung sudut pandang para pembaca.
Salam,
Dedy Tri Riyadi
Dalam obrolan singkat beberapa waktu lalu, seorang teman mengatakan bahwa pada suatu ketika, dunia puisi Barat dikejutkan oleh puisi Timur (Cina dan Jepang) yang cenderung bersifat potret belaka dari sebuah suasana yang sedang terjadi dalam penciptaan puisi tersebut. Lantas pertanyaannya, adakah makna lain dari puisi yang berciri seperti itu? Bagi pelaku Zen, ada suasana yang bisa direnungi dari deretan kata dalam puisi suasana seperti itu.
Ambil contoh satu haiku Basho seperti ini;
Furu ike ya
kawazu tobikomu
mizu no oto
kira-kira diterjemahkan;
Kolam tua
Katak melompat
Suara air
Ada gangguan di telinga orang yang bermeditasi ketika suasana di sekitarnya tiba-tiba terusik bebunyian air yang ditimbulkan lompatan katak ke dalam kolam yang tenang. Bisa dibayangkan jika orang itu adalah anda, yang sedang mencari ketenangan, kesunyian, lalu mendadak konsentrasi anda buyar karena hal sekecil itu?
Hal yang sama, ketika surgadaim melihat seorang emak-anak yang mengetuk kaca mobilnya di sebuah perempatan di kota Surabaya. Tiba-tiba saja dia teringat pada Seno Gumira Adjidarma yang telah menulis buku “Affair, Obrolan Tentang Jakarta.” (Buku Baik, Yogyakarta, 2004) Di mana di dalamnya ada cerita "Bayi dalam Gendongan: Sebuah Teater Jalanan".
Tiba-tiba saja, gairah berpuisinya mengalir deras. Lalu terciptalah puisi yang menurut hemat saya memberikan potret bagi kita tentang suasana sebuah jalan di Surabaya.
Atribut Jalan Raya 1
'Seorang ibu membawa bayi di perempatan. Tangannya menengadah dengan wajah memelas, tangan itu menyentuh kaca jendela mobil yang tertutup.' *)
Pucuk-pucuk tiang lampu lalu lintas
Jadi semacam antena yang sebar signal
Siap sebarkan segerombol emak-anak
Mencoba ketuk jendela, atau kita?
Jalan raya jadi monumen
Bagi mereka yang bekerja
Tunggu tanda merah dari ujung tiang
Tunggu tangan yang mengulur koin
Tak peduli wajah dari dalam yang acuh
Jalanan Surabaya, juga yang lain
Membuka ruang jadi peluang
Manusia-manusia dari entah
Yang seolah saling berbagi
Entah berbagi resah atau risih
*) Dikutip dari "Bayi dalam Gendongan: Sebuah Teater Jalanan" yang termuat dalam
buku "affair, obrolan tentang jakarta", Seno Gumira Ajidarma, 2004, Penerbit Buku
Baik, Yogyakarta.
Pada bait pertama, disajikan potret di mana peristiwa itu terjadi secara jelas. Di mana kita temukan tiang lampu lalu lintas? Tentunya di sebuah persimpangan entah pertigaan, perempatan, atau simpang lima dsb. Lalu terjadi peristiwa pemicu lahirnya puisi ini, emak-anak yang mengetuk jendela mobil.
Bait kedua, masih menurut hemat saya, masih berkutat dengan peristiwa itu. Penulis berusaha menjelaskan apa yang sedang terjadi. Dan hal ini tampaknya tidak berusaha menjernihkan apa yang sedang dirasakan oleh penulis bahkan pembaca dengan situasi yang ada. Pun di bait terakhir, saya masih belum menemukan apa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penulis dengan karya-nya ini. Bagi saya, penulis malah berusaha memburamkan potret yang tersaji hari itu dengan ketidakjelasan maksud penulisannya.
Di hari-hari lalu, saya sering mendeklamasikan sajak “Gadis Peminta-minta” karya Toto Sudarto Bachtiar (alm.) dan tanpa terasa sering air mata mengalir diam-diam di atas pipi saya yang waktu itu belum mengalami berjerawat. Dibandingkan dengan karya surgadaim ini, kata-kata Pak Toto sangatlah sederhana. Tak ada metafora yang bertele-tele dalam mengisahkan bagaimana pahitnya hidup sebagai peminta-minta. Betapa tegas digambarkan potret diri sang gadis peminta-minta itu, lengkap dengan kaleng rombeng yang digunakan untuk menampung derma dari orang lain. Dan dari gambaran yang jelas itu, kita sebagai pembaca dipancing rasa iba-nya. Jelas maksud penulisan puisi itu.
Sebuah puisi bisa saja gambaran jelas pada sebuah suasana, tetapi kita, pembaca, dimaksudkan mencari tahu apa yang sesungguhnya terasa di sana. Semakin jelas potret, semakin tidak transparan makna sesungguhnya, sehingga puisi itu bisa multitafsir tergantung sudut pandang para pembaca.
Salam,
Dedy Tri Riyadi
Comments