Dari Kepak Burung


Tak ada yang salah, saat pagi patah.
Warna matahari tetap cerah,
dahan-dahan juga masih tabah.

Sedang yang dihembus angin dan menjauh
dari rengkuh hanyalah kenangan seperti
di awal musim gugur di tahun 71 ada yang
bersiteguh

menanggalkan yang tak dimengerti
sebagai cinta, atau bermukim di tepi
aliran sungai yang meneguhkan warna alam,

yang kau dengar seperti suara gitar
dipetik tenang dalam perjalanan
antara Connecticut - New York.

Warna pagi tak banyak berubah,
karena dalam sajak ini aku akan selalu
memungut yang jatuh

dan berkilau seperti air mata,
seperti seekor gagak yang tak sempat
dituliskan Poe, atau seperti pisau

di mata sebutir apel, barangkali.
Seolah ada kemungkinan terbukanya
luka, terucapnya doa, kudengar pula

ada yang dibangunkan dari tidur
di sebuah taman, sebelum Yudas
mengecup Isa, lalu berkata: Rabbi.

Mungkin, pagi adalah dingin
yang tampias, yang lepas, dari
kepak burung-burung yang sibuk

mematuki bebijian, dan tak ingin
kau gusah dengan sebuah
kata: jangan pergi.

2013

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun