[IsengAsyik] Bermain-main dengan Kelamin

Ada indikasi yang sangat kuat bahwa imperialisme budaya dewasa ini sedang tumbuh dalam sastra Indonesia kontemporer, terutama melalui fiksi-fiksi seksual-liberal karya para penulis terkini yang sebagian berasal dari Komunitas Utan Kayu (KUK). Seks sebagai tema primer karya-karya mereka, terutama karya-karya Ayu Utami, adalah "panser ideologi" yang dipaksakan masuk untuk menumbuhkan imperialisme budaya itu.

Mereka telah mendewakan nilai-nilai estetis sebagai sebuah pencapaian karya adiluhung, tanpa memperhitungkan nasionalisme dan moralitas generasi bangsa ini. Betapa tidak, kebebasan membicarakan seks (gerakan-gerakan seks) yang termaktub dalam karya-karya mereka hanya dimiliki oleh kebudayaan Barat. Sama sekali tidak mencerminkan kepribadian Indonesia.

("Sastra Indonesia dalam Skenario Imperialisme" oleh Mahdiduri, Penyair dan ketua KSI Banten - artikel ini dimuat pada rubrik Sastra Harian Republika 22 Juli 2007).

Hemat saya, adalah pendapat yang keliru bahwa kebebasan membicarakan seks di dalam karya sastra (tulisan) dipandang sebagai gerakan imperialisme budaya dari Barat terhadap budaya Indonesia (Timur). Marilah kita tengok pendapat lain tentang hal ini :

Sebenarnya sudah lama hal-ihwal kelamin menjadi pembicaraan dalam dunia kesenian kita, misal dalam candi-candi. Candi Borobudur juga ada hal ihwal berhubungan antara lelaki dan wanita. Dalam serat Centini bahkan digambarkan bagaimana harus bermain, hari apa sesuai wetonnya dan ciri-ciri wanita dengan hal ihwal perempuan, bahkan dalam gua-gua sudah terpancak relief-relief yang bergambar kelamin. Perhatikan lingga yang bersimbol penis juga. Ingat pula dalam Kamasutra, Asmorogomo, Ars Amatoria, dari buku (meski ini bukan karya sastra) Sansekerta, Jawa, dan Latin, ternyata karangan-karangan itu tidak menunjukkan dan terkesan tuna susila atau pornografi, padahal menguraikan teknik hubungan seks dan seluk-beluknya.

("Puritisme dalam Sastra Indonesia", S. Yoga, Pengamat Sosial-Budaya dan Cerpenis tinggal di Madiun)

Pendapat lain lagi berkata demikian ;

Dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia, A Teeuw menempatkan sastra sebagai jalur keempat ke kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sastra ditempatkan Teeuw pada posisi yang relatif terhormat karena di dalamnya mengandung nilai dan di antaranya merupakan cerminan masyarakat sejamannya yang bisa dijadikan hikmah.

Dalam kaitannya dengan persoalan seks, baik dalam sastra daerah, sastra Indonesia, maupun sastra dunia, pembicaraan seputar perkelaminan itu merupakan suatu ketelanjuran. Gatoloco, Centini, Pengakuan Pariyem, Madame Bovary, dan Lady Chatterley’s Lover adalah sejumlah contoh betapa persoalan seks sudah merambah karya sastra sejak lama.

("Tebaran Seks dari Gatoloco hingga Lady Chatterley's Lover", Asep S. Sambodja).

Bagi saya menyikapi hal yang berbau seks dalam sastra adalah seperti menjelaskan ada satu hubungan keterikatan antara :
- nafsu dan pikiran,
- mikro dan makro,
jadi menyikapinya pun harus hati-hati, sedemikian pula ketika menuliskannya (tentu saja, seharusnya!). Hanya saja, marilah kita pikirkan baik-baik, apakah seluruh pikiran terdiri dari nafsu? apakah yang makro itu benar-benar kumpulan yang mikro? Ada kalanya untuk bisa "stand-out" orang memilih relung sendiri, sebab ada pepatah (dalam ilmu biologi, tapi) "to survive, one need it's own niche". Hanya saja hendaknya hal ini tidak sertamerta diterima, karena belum tentu juga kita sadar betapa rapuhnya "fungsi ekologis penulis² sastra seks itu" dalam relung "seks-ekspose literally". Sebagai contoh sekarang sudah mulai bermunculan sastra yang mengangkat tema seks sekaligus tema agama : "The God's Callgirl" atau yang karya negeri sendiri "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur".

Sebagai simpulan, sesuatu yang "aneh" janganlah terlalu ditentang, sebaiknya menjadikan kita tertantang agar bisa berbuat yang "lebih baik dari yang aneh itu".

Entah kenapa saya jadi ingat sebuah film Philipina bertajuk "Mourning Ladies". Film itu bercerita tentang 3 orang wanita yang kurang beruntung, yang merasa ada gairah baru ketika diminta seorang pemuda keturunan Cina sebagai peratap kematian pada upacara penyemayaman jenazah ayahnya. Salah seorang wanita dari 3 orang itu (seorang mantan penjudi yang terlilit hutang, seorang lagi mantan artis figuran yang ingin dihormati) adalah seorang gadis yang bolak-balik melakukan pengakuan dosa di gereja. Tahukah anda dosa apa yang selalu dia sebut? Persetubuhan dengan seorang tetangganya, hanya karena dia selalu tidak tahan untuk tidak tergoda oleh ketampanan lelaki itu. Dia selalu saja tidak bisa menolak keinginan lelaki itu padahal dia tahu persetubuhan itu adalah dosa besar!

dtr

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung