Posts

Showing posts from June, 2014

Pada Bibirmu

Image
Pada Bibirmu Aku melihat rumah putih dengan banyak jendela, semacam gedung perpustakaan di mana aku akan sering datang belajar banyak hal. Agar lebih pintar berkelit dari yang basah dan likat. Dan bibirmu, pokok besar di tengah halaman, berkali-kali anak yang nakal ini merasa penasaran: bagaimana bisa berdiri di dahan paling tinggi, tanpa merasa takut akan terjatuh seakan gumpalan mimpi yang kemudian hancur di waktu pagi.  Seperti telah menyisih bayang nyiur, karena kilatan  sudut bibirmu itu. Yang kupandang dengan perhatian  yang teramat lebih. Tanpa perlu merasa begitu sedih. 2014

Ada Baiknya Aku Katakan Ini Kepadamu

Image
Ada Baiknya Kukatakan Ini Kepadamu Merindukanmu serupa gerak berbalik paus bungkuk di kolam renang dengan dinding kolam merah muda. Aku mengharap tampiasnya sampai ke wajahmu yang khusyuk berharap dalam doa, entah di mana. Membayangkan kau tersenyum, tak ubahnya seperti dahan berharap burung hantu putih singgah. Aku mendengar dia berderak, mungkin hendak patah tapi dia akan bahagia, dicengkeram kuat oleh kuku-kuku. Hatiku akuarium, Sayang, ikan-ikan dan ganggang, yang bila kau selidik, ada banyak udang renik. Tak ada yang kusembunyikan; segalanya tembus pandang. Perasaanku: suka cita, cemburu, benci, sungguh tak pelik. Yang kuharapkan darimu, cintamu menjagaiku seperti tembok kota dan pasak pagar kayu melindungi deretan rumah di sebuah dataran. Seperti di lukisan itu ada sebatang dahan tumbuh dari lubang, dan memberi warna hijau yang mirip sekali dengan foto hutan dari udara. Dan memandangnya, aku merasa masih ada alasan agar aku berbahagia. 2014

Marilah Kekasih, Kita Bicara

Image
Marilah Kekasih, Kita Bicara Seperti cerobong asap yang mencerminkan ada yang sedang diproduksi secara otomatis, dan setiap 1 Mei, buruh tetap berdemonstrasi. Kita bicara seolah pada gedung mahkamah peraturan-peraturan penting sedang didebat dan wakil rakyat mencatat angka-angka inflasi. Marilah Kekasih, kita berdiskusi; seni hanya kotak warna-warni, atau dua patung marmar tinggi? Sedang cinta hanya bayang-bayang di sudut kiri. Atau, kita bisa saja berdiam diri. Duduk di atas bangku berwarna biru, dan membelakangi; pabrik, gedung pemerintahan, juga langit yang mendung. Seolah di piaza ini, percakapan telah lama didominasi oleh kekakuan harga diri yang telah gawal sejak sajak ini dituliskan. 2014

Biarkan Aku Tenggelam

Image
Biarkan Aku Tenggelam Dengan dada dan kepala di dalam genangan. Dengan bulan yang seolah mengambangkan kenangan. Dan kesunyian seperti gerombolan ikan berenang. Sebab waktu mengurungku seperti rumah jaga dengan pintu dan jendela sewarna senja. Sebab kerinduan adalah patung dengan delapan lubang di mata, mulut, payudara, pusar dan kelaminnya. Biarkan aku tenggelam, seolah kolam yang dingin tak punya tepi di salah satu ujungnya. Seperti mimpi pada malam-malam penuh awan hitam. Dan seandainya cinta adalah gravitasi yang memunculkan aku kembali, kusangka pada pintu di bangunan kuning tua kau adalah yang berseru, "Eureka!" 2014

Mencintaimu

Image
Mencintaimu Mencintaimu adalah berpikir bagaimana mendirikan sebuah tongkat kayu yang berat. Dan bila aku memandang persis di tengahnya, dunia seolah terbelah dua. Kiri dan kanan. Baik dan buruk. Masa lalu dan masa depan. Mencintaimu adalah memandang ke depan. Melihat langit dengan awan menyisih, di bagian atas, dan juga melihat jalan berbatu, di bagian bawah. Memandang apa yang sebenarnya hanya dugaan dan perkiraan. Meskipun tongkat kayu itu seolah telunjuk yang mantap menuju engkau. Mencintaimu juga berarti membicarakan bunga dan tunas. Sekaligus. Bunga, betapa merah dan berduri, kadang tampak pongah dengan selubung yang hijau. Sedangkan Tunas, pucat dan ingin segera masuk dalam ruang berwarna seperti otak. Dua gambaran yang begitu abstrak namun semarak. Mencintaimu, sebenarnya lebih menyoal aku. Menyoal cara berdiriku yang agak miring, menyoal warna kulitku, menyoal di sisi mana aku berdiri di depan tongkat kayu yang berat itu. Tongkat yang serat kayunya seolah tengah d...

Wajahmu

Image
Wajahmu "Percayakah engkau, Raja Agripa, kepada para nabi?" ~ Santo Paulus. Pikiran dan kecemasan seperti jembatan kayu berbau garam. Angin yang mengguncang, tak bisa menenangkan. Hanya ombak dari laut sesekali merupa rayu maut. Pesan-pesan darimu, kotak coklat terapung. Perahu yang menebar jala di pinggiran, juga sarang elang laut di atas cemara. Dari situ, aku mengenang wajahmu. Wajah yang melintasi cahaya, menyintas dari waktu, lalu merasuk jadi semacam perkiraan, sehingga aku meraba, membaca suasana kaku, dan sesekali mengeluarkan diriku dari suatu ke lain peristiwa. Seperti lidah kelu Agripa ketika Festus mengirimkan Paulus kepadanya, sebelum dia berkata, "Hampir saja kauyakinkan aku untuk menjadi pengikutmu!" Ah. Di pantai ini, betapa wajahmu muncul berkali-kali, dari bau garam di jembatan yang tertipu angin, dari kecipak sirip ikan di jala itu, dari pekik elang dan dari kotak coklat terapung, yang menampakkan kolom renungan a...

Aku Akan Meneleponmu

Image
Aku Akan Meneleponmu Sekadar bertanya,"Seberapa lembut angin di kota itu menghapus kalut?" Atau cuma mendengarkan napasmu yang mengelus kerinduanku dengan ragu. Aku akan meneleponmu, memastikan di kota itu kau merasa nyaman, dan sempat berwisata atau bertemu teman lama. Karena dengan begitu, kau sejenak melupakanku. Melupakan kita adalah paduan bahasa dan kebimbangan, kecemasan dan tanda-tanda yang dikurung oleh percakapan, suara dengung yang merambat di lengan waktu yang dipadan jarak dan kotak-kotak pemisah. Kita yang ditelan dengan dipenggal dan dipecahbelah. Yang mengingatkanmu pada sepiring udang galah, yang urung kuhabiskan, karena kau ingin segera pulang. 2014

Falseto

Image
Falseto Pergilah, Tuan, karena pergi adalah cara terbaik untuk kembali. Jangan dengarkan kata-kata dan bahasa cinta yang berguguran. Tapi lihatlah dataran yang murung dan langit yang selalu mendung. Perhatikan juga tunas-tunas hitam dari pengharapan yang tak lekang. Mereka yang tumbuh seolah tak ingin lurus, tak ingin berjarak. Merapatkan diri seperti makna yang menjaga kata-kata kita. Meratapkan mimpi-mimpi sepanjang lagu dari pikiran kita tentang bagaimana seharusnya cinta diungkapkan dan ditangkupkan dalam suara yang sopan. Dan kerinduan adalah cara paling halus untuk membentang jarak dengan tulus. Karena itu, pergilah Tuan, pergilah! Jangan lagi dengarkan aku yang resah dan membuncahkan kata-kata seperti bunyi yang keluar dari gramafon tua ini. 2014

Mitologi Negeri Gajah

Image
Saya membuat sebuah kumpulan puisi yang hanya berisikan 10 buah puisi dengan tema hewan-hewan mitologi di Asia Tenggara, yang saya beri judul "Mitologi Negeri Gajah." Kumpulan puisi ini saya terbitkan di www.issuu.com dengan maksud agar bisa disebarluaskan secara gratis kepada siapa saya yang mau membaca puisi-puisi itu. Tujuan dari penulisan 10 puisi ini tak lain dan tak bukan adalah untuk ikut merasakan apa yang terjadi pada negeri Indonesia tercinta ini pada waktu belakangan ini. Silakan bagi yang berminat bisa langsung mengunduh dan mencetak sendiri untuk kemudian membacanya. Link dari kumpulan puisi saya yang berjudul "Mitologi Negeri Gajah" ini bisa dilihat di sini .

Kembali Menjumpaimu

Jejak roda mobil tua di halaman rumahmu seperti kenangan yang tak pernah beku, selalu ada cerita yang bisa diulang dan dipasangkan dengan waktu. Meski dinding kayu sudah berubah warna dan tak terduga, aku merasa setiap kembali menjumpaimu, langit mewarnakan pertemuan   serupa dengan rumput musim semi. Aku tak pandai bercerita, dan sajakku seperti langit yang selalu kelabu, tapi ini kali kubenarkan tak ada lagi angin menderu dan menyerukan nama-nama yang asing, selain mengabarkan petualangan dan kepulangan adalah saudara kembar yang saling tunggu di depan pintu, atau mengintip malu-malu lewat jendela mungil dan berbisik: Siapa tamu itu? Teman masa lalu? Atau dia yang disebut-sebut dalam sepi? 2014

Becermin di Pagi Hari

Tanpamu, sajak serpih perak. Uban yang tumbuh untuk dicabut atau disembunyikan dengan zat asing. Tapi cermin menyebut kerut, sel kulit mati, juga gelambir pada pipi. Kau bagai masa lalu yang usang, yang tak sanggup membarui apak bau kenangan. Dunia tak berubah. Sajak yang dibangun dengan kata indah. Kilat cahaya di sudut jendela. Matamu, muara yang memandang dengan warna muram segala yang mengalir. Tapi cermin juga menyentuhkan harapan, sedikit rona sepucat bedak, tapi lebih pekat dari ulas alis mata. Kau masa depan bagi perasaan-perasaan pagi hari ini. Denganmu, sajak sejenak gelap. Pikiran yang tumbuh untuk dicatut dan dibunyikan dengan cara yang lain. 2014

Aku Mengambil Bagianku

Aku mengambil bagianku, serupa hosti yang kupecah dalam tekak dengan pasti. Aku mengambil bagianku, seteguk anggur. Kehangatan dan manis yang bercampur. Tapi kau ambil bagianMu: hidupku! Sampai tak kukenali segala yang dulu. 2014

Membaca Buku di Perpustakaan

Seperti menguliti apel dengan pisau, sebuah buku kau buka dengan risau "Bukan makan malam mewah, jika kau tak sediakan pisau, garpu, dan sendok perak," gerutumu pada sebuah halaman persembahan. Barangkali, aku harus angkat topi, pada semua tindakmu yang begitu hati-hati. "Ah, ini sekedar perayaan sebelum pergi. Jubah panjang musim dingin tak lagi pantas kukenakan saat tidur," celotehmu. Seperti mereka musim di mana apel itu jatuh, pada halaman berikutnya, jemarimu terasa rapuh. Saat itu aku mengira: perpustakaan adalah sebuah kafe mewah untuk lapar yang begitu sederhana. 2014

Yang Jatuh Ke Bahu

Jika ketabahan diserap dalam-dalam oleh akar, kutuliskan helai daun menanggalkan dahan, supaya kejatuhan seolah gerakan sederhana untuk mencapai kesadaran sebenarnya. Jika kebijakan serupa genangan di jalan itu, kutuliskan cipratan air pada tembok sepanjang lorong, karena padanya ada penghakiman lewat jejak-jejak seseorang. Dan jika kearifan hanya titik air hujan pada kelopak bunga, kurangkai kembali peristiwa di mana seseorang berjalan di bawah pohon dan mengira yang jatuh ke bahunya adalah tangisan kekasih. 2014

Pintu

Adalah kekasih, tertidur menunggu kabar dari jauh. "Karena Tuanku bersetia, maka aku menjaga," demikian dipulaskan segala yang seperti urat kayu. Adalah rindu, ditabur jauh sebelum kata merengkuh. "Pada mata Tuanku nyata kasih yang mesra," perlahan dideritkan apa yang mirip sekali dengan logam itu. O! Bunyi bel itu, suara agar waspada dan bersegera membukanya, berkahi ragu jemari ini. 2014