Posts

Showing posts from June, 2008

Andai

Andai ada yang mencintainya sedalam itu, sumur ini tak pernah kering. Pada kecipak daun yang jatuh, kau dengar tepuk kami begitu riuh. Andai ada yang mencintainya seperti kau, hujan itu tak pernah turun. Kami kanak yang terlalu rindu pada kubang air di halaman. Andai kau mencintainya begitu dalam, dia tak akan pernah diam. Menuliskan puisi di antara langit yang temaram, saat mata mulai pejam. 2008 (reply sajak Ingrid di BuMa)

Reboan 25 Juni 2008

Dengan Aneka Duka Sebelum Acara, Reboan Berlangsung Luar Biasa. (Laporan Reboan 25 Juni 2008) Rabuan 25 Juni 2008 terlaksana sudah. Tak banyak yang mengetahui bahwa dari sekian penampil yang dijadwalkan, banyak yang tidak dapat datang karena berbagai hal. Mat Bui Band yang tadinya dijadwalkan tampil (karena lagu-lagunya yang berkarakter alm. Benyamin Sueb) tiba-tiba terpaksa membatalkan kesanggupannya karena anggotanya ada yang sakit, demikian juga dengan band yang digawangi oleh Yudha dari www.kemudian.com juga bernasib sama. Seorang anggotanya pun mengalami sakit hingga terpaksa membatalkan janji untuk tampil. Dion dari Elex Yo Ben pun mengalami musibah yang menurut dia sangat ironis. Dion mengaku sebagai orang yang anti kekerasan, tetapi Sabtu malam sebelum acara berlangsung dirinya menjadi korban pengeroyokan hingga harus berurusan dengan pihak kepolisian hingga beberapa hari sesudah peristiwa itu. Pak Rachmat Ali, yang dijadwalkan membagi pengalaman kreatif sehari sebelumnya mende...

Mata Materai

Aku tahu kau inginkan sebuah ikatan. Semacam perjanjian yang disepakati bersama. Padahal tanpa kutulis, tubuhmu menderas di darahku. Dan kau manfaatkan setiap langkahku sebagai sepatu di jalan-jalanmu yang berliku. Tetapi kau mau begitu, mengedepankan ikatan seperti pencatatan sumpah bahwa aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Padahal tanpa bersumpah, adalah aroma tubuhmu yang menguar dari celah bibirku. Dan kau selalu meminta aku berucap pada setiap kesepianku, pada luka-luka hidupku, dan pada tawa yang lepas setelah perjalanan yang begitu luas. Lalu di kedua mataku, kau sematkan materai. Agar apa yang kusaksikan dapat kau saksikan juga. Tapi mungkin kau lupa, ada kalanya aku tertidur. Berlatih mematikan hidup, sebelum mimpi yang panjang. Akankah kau meminta aku berjanji atas mimpi-mimpi? 2008

Sajak Saya di Jurnal Nasional Minggu (29/06/08)

Jurnal Nasional Minggu tanggal 29 Juni 2008 memuat 5 sajak saya. 1. Kupukupu Cahaya 2. Perkawinan di Kana 3. Menunggu Kereta Berangkat, Berharap Kau Selalu Dekat 4. Berjalan di Punggung Bukit 5. Kamar yang Sesak Sedangkan di situsnya, tadi pagi saya lihat terdapat 8 sajak saya, dengan tambahan : 6. Percakapan Argometer 5 7. Tentang Kita 8. Pada Pijar Lampu di Beranda Saya merasa berbangga hati sekaligus berucap syukur dan berterimakasih kepada teman-teman yang selalu menyemangati saya selama ini.

Bolaforia dalam Puisi

Hingar bingar sepak bola kadang menjadi salah satu pemicu kreativitas para penyair. Beberapa waktu lalu sebelum Euro 2008, saya sempat menengok situs seorang penyair kesayangan saya. Dan ternyata beliau sudah menuliskan sebuah sajak dengan imaji sepak bola. Inilah puisi yang saya maksud : Mata Bola by Joko Pinurbo Ia baru saja menunaikan pertandingan sepakbola. Hatinya memar dan lara. Ia dapatkan tiga peluang emas untuk mencetak gol, semuanya terbuang percuma. Bola yang ditembaknya dengan penuh perhitungan melambung di atas mistar gawang. Satu mendarat di pelukan penjaga gawang. Satu lagi membentur tiang gawang, kemudian memantul deras menghantam jidatnya tersayang. Dengan terpincang-pincang ia tinggalkan gelanggang. Kakinya yang gigih agak rusak digasak lawan. Bola yang dingin dan angkuh dibawanya pulang dan dihajarnya dengan beringas. “Ampun, bang,” rintih bola, “bukan saya yang bikin naas. Kaki abanglah yang kurang cerdas.” Dipandanginya mata bola yang menatapnya penu...

Mencuci Rambut, Memaki Kemelut

: TSP Keramas ternyata sudah jadi jalan pintas, tak lagi sekedar ritual mengguyur air pada rambut ikal dengan bergegas, menggusur kelumur, menggosok kulit kepala agar bebas dari debu dan minyak atau gel rambut murahan. Hingga setiap pagi ada yang berebut pergi ke perigi : saling mendahului. Keramas adalah pintu pelepasan yang dicurahkan dengan sengaja, dimurahkan karena tak banyak biaya, hanya satu saset syampu yang cocok untuk kulit kepala dan rambutmu. Sehabis keramas, ada saja yang menatap gemas. Apakah karena kini kau tak lagi memaki kemelut, atau sibuk keringkan rambut : mengacuhkannya. 2008

Waktu Bermain Kupukupu di Rambutmu

Waktu bermain menangkap kupukupu di rambutmu. Berkeliaran di antara semak masa kanak dan pokok hijau harapan masa depan. Seperti yang begitu sabar menunggu terbukanya pintu pagar, begitu tekun ditandainya setiap turun embun, jatuh setiap daun dan bernas segala tunas. Begitu dipahaminya musim berubah, betapa ranting dan bunga tumbuhkan beragam buah. Pernah waktu terjerembab dalam dekap kubang kenangan, jauhkan langkah dari jangkauan jejaring ke arah kupukupu itu. Tapi waktu akan selalu bangkit kembali. Dibuang segala sakit, celekit, dan nyeri yang datang bertubi-tubi ke dasar jurang dan tubir nun jauh. Sementara engkau sendiri mengigir cermin, memungkiri kenyataan, waktu terus bermain mengejar kupukupu di rambutmu. 2008

Sastra Rabuan # 3

Image

Membaca Puisi

Image
(Oleh-oleh dari acara "Oleh-Oleh Dari Sastra" yang diadakan Depok Town Square dan UKM Sastra Universitas Bung Karno, 14 Juni 2008) PS. Boleh dong narsis sedikit...

Idiom Sepeda Motor

Di kotamu aku belajar ‘ngebut. Seperti gnu di pepadang Afrika, tak kupedulikan rambu dan marka. Aku bisa liar di trotoar, dan sesekali, dengan acuh sekali kuseberangi jembatan tinggi. Tapi kotamu, rupanya lebih tidak peduli. Dilahirkannya kemacetan setiap hari dengan beragam jenis kendaraan baru. Di dada kotamu, aku tak bisa melaju sendiri lagi. Kotamu menghimpitku, seperti tangan ibu yang hendak mencekik bayinya sendiri. Memasukkan aku dalam seribu liku lorong kota. Seperti dalam labirin, aku meretas benang segulung. 2008

Aku Melihat Elang, Engkau Meminta Pulang

Hanya mata; sepasang mata. Dari sanalah kuperangkap segala ragu yang bergerak. Semacam kelepak sayap, atau seperti kau yang meratap. Aku melihat elang. Sepasang sayap di langit terang. Mataku seperti terikat, melekat di sayap-sayap itu. Hanya engkau; satu engkau. Di dirimu segala perangkap terpasang, seperti panggilan ibu pada anak tersayang. 2008

Langit Mencintai Burung

Langit sangat mencintai burung. Dengan titik-titik embun, yang dia sebut ”manna,” dibentuknya sangkar udara: ruang yang kaukira kosong, tetapi sebenarnya ada. Pada utas temali pagi, disusunnya sebuah simfoni. Kaudengar itu sebagai “kicau.” Yang buhul-buhulnya jatuh di jantung para petani, sebagai degup yang kacau. Ah. Pada sawah mereka juga, langit meliarkan terbang burung-burung itu. Hingga di kecipak keruh sungai kecil, sajak ini tak pernah cukup bagimu. Bagai burung, telah kaukekang sajak ini dalam sarang. Agar langit memintanya segera pulang. 2008

Rumah Sajak dan Jendela

Lewat tubuh sajak kubangun rumahku sendiri. Rumah yang penuh jendela. Hingga setiap waktu kau bisa melongok sakitku, dan aku bisa menyegarkan kerinduan. Jendela menjadi kemewahan tersendiri. Kita bertukar kabar setiap hari, atau sekedar melambaikan tangan sebagai isyarat "Aku baik sekali hari ini." Dalam rumah sajak, aku memanen cahaya matahari sebaik memandang daun-daun kalender yang berguguran ditiup angin kecemasan. Bukankah kau yang bilang, "Setiap hari punya cemasnya sendiri." Lewat jendela, kuwarnai setiap kecemasan dengan satu warna pelangi; hijau untuk minggu, kuning untuk senin, merah untuk selasa, dan seterusnya. Hingga mungkin di akhir pekan, kau akan melihatku bermain dengan segenggam warna ungu, yang berarti cemas yang sabtu. Karena di hari itu, aku melihatmu dijemput pergi mengunjungi bioskop atau kedai kopi; bangunan-bangunan dengan jendela yang terbuka setengah hati. 2008

Bunga Mangga

Tak sekali pun bunga mangga digugurkan angin. Mereka hanya melompat dari pucuk pohon ke pangkuan bumi. Tak ada kesedihan di sana. Seperti aku yang tak tergiur kesedihan, kulahirkan sajak ini dengan penuh sukacita. Seperti ibu yang melewati sakit melahirkan, seperti teriakan bocah lelaki sehabis dikhitan. Tak sekali pun sajak ini mencatat tentang engkau. Sajak ini mencatatkan tubuh mungilnya di sudut subuh yang tak terpanggil oleh menara-menara masjid. Sebab engkau selalu tak terjangkau, dan aku terlalu kecil, terlalu terpencil, terlalu degil. Dalam sajak ini, kubiarkan engkau berlompatan sendiri seperti bunga-bunga mangga. Aku tak akan mencoba menangkapnya. Seperti pintu pagar, di sajak ini aku selalu punya celah menderitkan sebuah kelit, mengalihkan seribu rasa sakit ke satu cerita yang sulit kaujangkau. Sebab aku hanya menulis sedikit demi sedikit. Seperti membiarkan angin, sebagai mana sakit, menerobos di antara pepohonan dan menjelmakan bunga-bunga mangga ke atas tanah basa...

Undangan Sastra Rabuan #3 - 25 Juni 2008

Image

Ah Bulan, Sepimu Telah Kutelan

Kau inginkan malam, kuberi kau selembar kelam. Hambar. Pelan-pelan ambyar. Mendenting ia. Pada belasan gang di Randugunting. Sebelum tujuhbelasan. Sederet tiang listrik di sisa perjalanan pulang, menghitung lagi pada tali. Menggantung sepatu. Melengkungi sepimu. 2008

Cemas Bunga Kapas

Likat angin liar pada belikat dan dada Punggungmu, dadaku bertemu pandang "Kita tak pernah sebebas bunga kapas," Sepotong keluh setelah diam yang panjang Hanya tanganku semakin erat memeluknya, meremas cemas bunga kapas pada hijau tandan 2008

Kekasihku Ladang Tebu

1/ Ini bukan penggalan adegan "Cinta dalam Sepotong Roti", Dan tak akan tersenggal aku di sepanjang derit laju lori. Kekasihku, menjelmalah kau di tengah ladang tebu jadi juntai gelagah, jadi tikus argenticus kelabu Karena segala gatal miang tak surutkan petualangan mereka yang selalu belia : bocah-bocah di Pangkah. 2/ Ya. Tak ada hijau Mississippi di sini. Setangkai setanggi menguar harum di depan tonggak kayu Dewi Sri. Lalu di mana lori berhenti? Gerbong hitam, bocah berkulit gelap, dan bau cairan pekat menyatu dengan langit yang pucat. Sebentar lagi masa produksi. 3/ Kekasihku, ladang tebuku manisnya tak pernah habis di lumpurnya aku bergulat dengan kanak-kanak berkulit coklat. 2008

Masih Terlalu Hitam

Image
: memandang "Destination 2008" by Inez Dikara Hanya tanganmu mencengkeram semacam lingkaran. Memberi sebentuk titik sebelum menghitam teramat pelik. Seperti mata pena, seperti mata yang terbuka. Ada sebuah lubang di sana. Lubang yang menganga. Seperti tahun tahun setelah dua ribu delapan. Masih terlalu hitam untuk dipandang. 2008

Mengenang Ibu, Menembang Tebu

Tebu, tebu, kau kah Ibu? Ibu, Ibu, manismu selalu. Sesusup miang, kau bilang biar Lalu siapa mereguk di manismu? Sebab tak ada manis yang tak habis, dan tak ada miang yang tak terbuang Setelah sepah, tinggal istirah dan jika tak sudah, kita berserah Sepetak ladang sepanjang jangkauan di antara peluit lori dan pokok jati Begitu pelak bayang kenangan menghimpit diri hingga nanti. 2008

Ibu, Batu, Kamu

Ada suatu waktu, ketika aku jatuh dan yang kuingat hanya Ibu. Ada suatu waktu, saat aku jauh dan yang kulihat cuma batu. Dan jika suatu waktu, saat aku teguh ingin kudapat yang satu; kamu. 2008