Bolaforia dalam Puisi

Hingar bingar sepak bola kadang menjadi salah satu pemicu kreativitas para penyair. Beberapa waktu lalu sebelum Euro 2008, saya sempat menengok situs seorang penyair kesayangan saya. Dan ternyata beliau sudah menuliskan sebuah sajak dengan imaji sepak bola.

Inilah puisi yang saya maksud :

Mata Bola

by Joko Pinurbo

Ia baru saja menunaikan pertandingan sepakbola.
Hatinya memar dan lara. Ia dapatkan tiga peluang emas
untuk mencetak gol, semuanya terbuang percuma.
Bola yang ditembaknya dengan penuh perhitungan
melambung di atas mistar gawang.
Satu mendarat di pelukan penjaga gawang.
Satu lagi membentur tiang gawang,
kemudian memantul deras menghantam jidatnya tersayang.

Dengan terpincang-pincang ia tinggalkan gelanggang.
Kakinya yang gigih agak rusak digasak lawan.
Bola yang dingin dan angkuh dibawanya pulang
dan dihajarnya dengan beringas.
“Ampun, bang,” rintih bola, “bukan saya
yang bikin naas. Kaki abanglah yang kurang cerdas.”

Dipandanginya mata bola yang menatapnya penuh iba.
Sekonyong-konyong muncul bayangan ayahnya
yang tewas dalam kerusuhan penonton
saat menyaksikan pertandingan bola.
Dengan sesal dibelai-belainya bola dan didekapnya.
“Aduh, badanmu panas sekali, bola. Kau demam ya?
Kau pasti capek diajak berlari ke sana kemari.”

Bola terpejam. Dan dari balik mata bola ia dengar suara
ibunya yang telah tiada: “Kakimu cedera ya, nak?
Sini ibu pijitin biar tambah sakit.
Jangan sedih. Ibu selalu menyertaimu di dalam bola.”

Nah, ia akan mencoba cara baru menceploskan bola
ke mulut gawang: ia akan menendangnya sambil terpejam.

(2008)

Kata "bola" dalam sajak itu bisa saja merujuk pada benda bulat yang biasa dimainkan dalam sepak bola, bisa juga berarti lain. Coba lihat pada kalimat " Ibu selalu menyertaimu di dalam bola."

Di awal sajak ini, pertandingan sepak bola diibaratkan oleh beliau seperti sebuah ibadah. Hingga perlu diawali dengan kata "menunaikan".

Kalimat-kalimat selanjutnya, jika diperhatikan, menjadi semacam permakluman dalam kehidupan apabila segala daya dan upaya yang kita lakukan kemudian sia-sia atau gagal. Joko Pinurbo seakan seseorang yang mendengarkan cerita lara kita, kemudian melontarkan kata-kata yang sangat menenangkan.

Di bait kedua beliau seakan menggambarkan perilaku seseorang yang kecewa yang kemudian bertindak gegabah, akan tetapi dengan cerdas beliau meluruskan hal itu dengan mengatakan "bukan saya yang bikin naas. Kaki abanglah yang kurang cerdas.” Hal yang bisa diartikan bahwa segala kekecewaan kita, haruslah membuat kita melakukan introspeksi diri.

Maka di bait selanjutnya, introspeksi diri itu pun berlangsung. Bagaimana si dia dalam sajak itu mengenang "sebuah peristiwa atau perjuangan." Setelah disadarkan, si dia akhirnya "menyayang" bola itu. Bahkan di bait selanjutnya, di dalam "bola" bisa diingat segala kebaikan ibu yang selalu menyertainya.

Dan terakhir, yang bisa kita rasakan adalah sebuah kepasrahan total yang digambarkan dengan "menendang bola dengan mata terpejam".

Bagi saya, dengan kepasrahan yang dalam itulah sepakbola dalam puisi ini memang sudah setara dengan ibadah seperti yang diungkap di awal. Boleh jadi pameo yang mengatakan "sepak bola adalah agama" yang berlaku di beberapa negara seperti Inggris, Italia, dan Brasil memang ada benarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung