Rumah Sajak dan Jendela
Lewat tubuh sajak kubangun rumahku sendiri. Rumah yang penuh jendela. Hingga setiap waktu kau bisa melongok sakitku, dan aku bisa menyegarkan kerinduan. Jendela menjadi kemewahan tersendiri. Kita bertukar kabar setiap hari, atau sekedar melambaikan tangan sebagai isyarat "Aku baik sekali hari ini."
Dalam rumah sajak, aku memanen cahaya matahari sebaik memandang daun-daun kalender yang berguguran ditiup angin kecemasan. Bukankah kau yang bilang, "Setiap hari punya cemasnya sendiri." Lewat jendela, kuwarnai setiap kecemasan dengan satu warna pelangi; hijau untuk minggu, kuning untuk senin, merah untuk selasa, dan seterusnya.
Hingga mungkin di akhir pekan, kau akan melihatku bermain dengan segenggam warna ungu, yang berarti cemas yang sabtu. Karena di hari itu, aku melihatmu dijemput pergi mengunjungi bioskop atau kedai kopi; bangunan-bangunan dengan jendela yang terbuka setengah hati.
2008
Dalam rumah sajak, aku memanen cahaya matahari sebaik memandang daun-daun kalender yang berguguran ditiup angin kecemasan. Bukankah kau yang bilang, "Setiap hari punya cemasnya sendiri." Lewat jendela, kuwarnai setiap kecemasan dengan satu warna pelangi; hijau untuk minggu, kuning untuk senin, merah untuk selasa, dan seterusnya.
Hingga mungkin di akhir pekan, kau akan melihatku bermain dengan segenggam warna ungu, yang berarti cemas yang sabtu. Karena di hari itu, aku melihatmu dijemput pergi mengunjungi bioskop atau kedai kopi; bangunan-bangunan dengan jendela yang terbuka setengah hati.
2008
Comments