Posts

Showing posts from December, 2012

Dirisaukan Rindu

Dengung itu sudah lepas dari dinding? Dia masih di situ selama belum ada ingin yang ikhlas pada kenyataan bahwa tidak hanya dari jendela, cahaya itu merengkuhmu. Aku terkadang kuatir, kita dirisaukan rindu. Tapi bukankah apa yang kau rasa sampai juga di dadaku? Lalu pada suatu pagi, kau memandang jendela – berharap seseorang melangkah dengan tergesa, seperti takut ada terluput, atau seakan ingin mengulang mengucap dan mengecupkan kata perpisahan? 2013

Mendadak Ada yang Jatuh

Mendadak ada yang jatuh. Seperti sebuah pertanyaan - sempatkah kau mengaduh? Karena awan pun tak sempat berpamitan dengan langit, saat ia turun dalam hujan itu. Paling-paling kau melihat wajahnya yang murung, mengembangkan payung, lalu buru-buru melangkah   - menjemput dirinya yang nyaris telat. 2012

Sebuah Komposisi

  Malam menghadap jendela. Bunga-bunga hujan melekat di wajahnya. Jarimu lincah memainkan Flight of the Bumble-Bee . Dan seperti ada yang mendengung. Kurasa - begitu dekat. Kuraba: tak ada di jari-jarimu yang menekan-nekan tuts Kawai . Ah! Mungkin kau bersenandung. Sekedar memecah hening, atau memang benar kau ikuti nada-nada itu, supaya jari-jarimu bisa meraba dan meraihnya – lalu seperti menebarkan jaring – mereka tak bisa lepas dari komposisi yang kau mainkan itu. Komposisi yang menceritakan betapa hidup adalah perjuangan sekaligus perlawanan atas keputusasaan meskipun kita lemah atau dianggap lemah oleh lawan. Meskipun kita hanya lebah, bertahan dari bunga ke bunga. Lari dari padang ke dalam hutan. Agar tak sampai terjebak oleh angin dan hujan yang kembang, yang melekatkan sesuatu di sebuah jendela, saat malam meremang. 2013

Yang Tumpur lalu Menghilang

Selama wajah danau masih tabah dihujani panah-panah cahaya dan hanya sekali-kali mengibas ke arah dedaunan talas, selama itu pula rindu mengerut-mengendur dari arah pos jaga di bawah bukit itu sampai pada sebuah kelokan yang engkau kira, aku akan menoleh ke belakang sambil melambaikan tangan dan mungkin – jika kau ingin – memanggil namamu ke arah angin. Lalu kau akan balik berlari padaku? Ya, bisa saja begitu – karena aku tak enggan pada rerumputan itu, tak malu untuk mengakui bahwa ada yang tertinggal dari sebuah pertemuan. Yang baru saja kuketemukan dalam diri setelah merenggang-melupakan pelukan. Ya, aku akan berlari kepadamu – dan lebih dari itu - ke dalam dirimu, seperti yang debur di tubuh danau itu, yang tumpur lalu menghilang dari pandangmu – hingga kau bertanya: Kaukah itu yang datang? 2012

Di Pelipis Pisau Itu

Cinta itu tahan menderita? Ya, sampai asap tipis dari dupa hilang sebelum mencapai langit-langit wihara dan dengung doa seolah meraung di telingamu sendiri. Sampai kau lupa ada foto-foto tua di atas meja, di bawah tiga rupang disusun menjulang, yang kepadanya kau merasa begitu tak berharga, lalu bertepuk tiga kali sebelum menjura. Memejamkan mata sambil membayangkan seseorang tersenyum begitu bahagia, meski kau tak sedang bersamanya. "Tak mengapa" -  Ia berkata. Seolah jarak bukan lagi jerat, bukan sebuah sekat yang membuat kita merasa semakin asing dan sepi. Tersisih dari riuh kata-kata rindu, dan terpilih sebagai anak-anak piatu. Walaupun aku tahu, kau sempat merasa jauh hingga kau mulai merintih, berseru - atau mengaduh? Seperti merasakan sakit yang belum juga mau sembuh. Dan selintas kaulihat - di pelipis pisau itu, belum tumbuh benih peluh. 2012

Sebelum Ada yang Meledak di Langit Malam

"Cinta adalah kerelaan, bukan perayaan," katamu. Maka kita tak saling bersalaman. Aku memberimu kecupan, sedang kau memberiku pelukan. Dan kita bukan lagi orang-orang terasing. Kesepian hanya menghiasi dinding, walau kadang bersuara seperti tik tok jam, namun detaknya tak menakutkan.   "Mari kutuangkan anggur ke gelasmu." Seseorang mirip pelayan menghampiri kami. Di tangannya, ada semacam rindu yang cemas. Rindu yang dinginnya terasa di lidahmu. Dan mungkin beberapa saat lagi, akan terasa juga di lidahku sendiri. Sebab kulihat ada yang berkelebat dan tumbuh lebat di sana. Di lantai dansa. "Cinta itu seperti pelukan lembut, bukan memagut," katamu. Aku setuju. Lalu mengajakmu mengikuti alunan waltz, sambil mengingat betapa lamban malam bergerak, dan betapa parah waktu patah berderak, hingga kita jadi membisu, kehilangan semarak kata-kata, sebab katamu; "Cinta tak akan pernah padam!" Dalam apinya, kita cuma pijar sesaat. Dan dalam ap...

Selalu Ada Waktu Menunggu

Di warung itu, dia memesan kopi dan segera disesap sepi. Halaman- halaman majalah yang dibaca tak membawanya ke mana-mana, selain pada sebuah dugaan - ada yang terlambat karena dihambat jalan. Tapi cinta tak perlu dugaan, bukan? Selain bahwa kita harus yakin ada yang membuat kita merasa tak bisa dipisahkan - sebagaimana di dalam sajak: ada yang ingin diucapkan oleh kayu kepada api dan ada yang harus direlakan awan dari hujan. Itulah mengapa dia rela menunggu di warung itu, sementara ada yang menepi dan menyisakan sebuah sudut di dalam ruangan sehingga tak bisa dilihatnya dari jendela - apakah langkah-langkahnya sudah terlihat, atau masih terhambat? Barangkali pada halaman-halaman tersisa dari majalah yang dibacanya, ada tulisan supaya dia tetap sehat dan membangkitkan minat setidaknya agar lebih rajin berolah-raga, sebab dalam cinta selalu ada waktu menunggu dan waktu berjaga. 2012

Aku Bayangkan Kau Tersenyum

Kabar kedatanganmu sudah kuterima. Pintu pagar dari pagi sudah kubuka lebar. Meja di beranda kuberi taplak warna ungu. Kesukaanmu, bukan? Ada mawar dirangkum di jambangan putih. Dan kuduga matahari pun iri menyaksikan bahwa kegembiraan ini begitu berwarna, bahkan nanti saat kita tertawa. Ah! Gingsulmu itu masih ada dan belum dioperasi? Aku ingat kalau kau tak pernah berusaha menyimpan rahasia, sama seperti aku. Sehingga kita sama-sama maklum betapa pun jarak dan kenyataan membuat semua berbeda dan mengalami waktunya sendiri, tapi kita masih seperti teruna yang lugu. Seperti waktu pertama kali kita coba makan papeda, kau coba pakai sendok & garpu, aku tak tahu harus bagaimana mengambilnya dan menuangkan ke piring itu. Aku terus bayangkan kau akan tersenyum, bila kuungkit-ungkit apa yang aku kenangkan. 2012

Cuma Tangisan

Ada yang harus direlakan, agar kita bisa menerima. Seperti luka di tangan diulurkan ke tangan tabib tua itu. Dan ada yang harus diobati dan dibebatkan, agar penerimaan kita terasa ringan. Seperti jarum yang berkejaran pada jam di langit-langit stasiun. Sementara kau baru hendak melepas peluk, belum juga duduk. Tapi peluit panjang itu terdengar lantang. Mungkin yang kita perlu cuma tangisan, yang jerit, yang sakit, agar kita bisa bangkit dan menerima kenyataan. 2012

Sebagai Suara yang Didengarkan dengan Mata Tertutup

Ketika yang ingin diterjemahkan tiba-tiba pejam. Tinggal suara serupa malam. Lalu bunyi tiang listrik dipukul dua kali yang teng - tengnya seperti kata-kata panjang dalam bahasa asing. Kau masih saja memegang pena itu? Tanpa sekalipun bertanya dia ingin menulis atau dituliskan dalam satu bahasa yang tak perlu diterjemahkan bahkan mungkin cukup dipahami sebagai suara yang didengarkan dengan mata tertutup saja. 2012

Dia yang Berjalan Menyisir Semenanjung

Untuk CA Jika bukan karena cinta, dia tak mungkin berjalan sendiri menyisir semenanjung, menyisih dari malam yang seperti pantai hilang alun. Tak dihiraunya gerimis,          sebab ini bukan saat yang tepat untuk menangis. Jika bukan karena cinta, dia tak mungkin memungkiri sisa penjelajahan pada kapal, perahu, tiang layar, dan temali. Sebab waktu tak berhenti seperti usai menghitung deret gudang dan rumah tua ke sekian. Sebelum semuanya lenyap jadi kenang. Dan jika bukan karena cinta, dia tak akan berucap selamat tinggal dan membayangkan betapa hangat sarang elang di pucuk pohonan,                                   betapa erat maut membayang dari kehidupan. 2012

Pada Lipatan Sajadah

Kulihat ada sisa-sisa doa pada lipatan sajadah Ada bekas tangis juga Mungkin milik seorang Ibu yang ditinggal mati anaknya Mungkin juga jerit doa yang terlambat naik pada Tuhannya, lalu menyesal - mengapa ada waktu menunda? Kulihat ada gores kuku pada lipatan sajadah Seperti seseorang bertanya padaku: rindu itu menyiksamu? 2012

Seolah Mengarah ke Hulu

Hari yang cemas, matahari berpayung di atas sampan. Kuingat lelaki tua itu dengan riak sungai dan dedaunan talas Sepertinya waktu mengambang Mengaburkan kabar dermaga yang kesepian. Siapakah itu menunggu? Pertanyaanku: kecipak mulut ikan  di balik enceng gondok Yang detik-detiknya tunggu mulut kura-kura Hari yang cemas, seseorang mendayung pelan Seolah mengarah ke hulu, tapi tidak, karena di sebuah dermaga, penantiannya tak lagi sia-sia 2012

Membalas Sajak-Sajak Dharmadi

Image
Dua sajak ini lahir sebagai "balasan" terhadap sajak-sajak Dharmadi yang baru saja melahirkan buku kumpulan puisinya berjudul "Kalau Kau Rindu Aku." Sajak-sajak beliau adalah sajak-sajak yang lahir dari olah batinnya bahkan masuk wilayah spiritual dirinya, begitu akunya saat dibedah bukunya di Sastra Reboan, semalam (26/12) di Wapres Bulungan, Jakarta Selatan. Sajak-sajaknya sungguh menarik hati saya, meskipun diksi-nya sederhana. Tidak banyak imaji disajikan, karena kebanyakan justru masuk dan membedah imaji yang ada sehingga roh dari imaji itu yang nampak. Dan maafkan saya karena lewat sajak-sajak berikut ini, saya justru akan lebih memainkan imaji-imaji yang "diabaikan" dalam sajak-sajak beliau. Di Rest Area : Dharmadi Suara azan mengapung di atas cangkir kopi. Sepotong hari membeku dalam roti keju. Hanya Aku dan waktu berkejaran dalam diri. 2012 Lelaki yang Mencari Namanya di Kuburan : Dharmadi Di dekat pokok kamboja, dia berdoa ( entah di d...