Sebelum Ada yang Meledak di Langit Malam


"Cinta adalah kerelaan, bukan perayaan," katamu. Maka kita tak saling
bersalaman. Aku memberimu kecupan, sedang kau memberiku pelukan.
Dan kita bukan lagi orang-orang terasing. Kesepian hanya menghiasi dinding,
walau kadang bersuara seperti tik tok jam, namun detaknya tak menakutkan. 
"Mari kutuangkan anggur ke gelasmu." Seseorang mirip pelayan menghampiri
kami. Di tangannya, ada semacam rindu yang cemas. Rindu yang dinginnya terasa
di lidahmu. Dan mungkin beberapa saat lagi, akan terasa juga di lidahku sendiri.
Sebab kulihat ada yang berkelebat dan tumbuh lebat di sana. Di lantai dansa.
"Cinta itu seperti pelukan lembut, bukan memagut," katamu. Aku setuju.
Lalu mengajakmu mengikuti alunan waltz, sambil mengingat betapa lamban malam
bergerak, dan betapa parah waktu patah berderak, hingga kita jadi membisu,
kehilangan semarak kata-kata, sebab katamu;"Cinta tak akan pernah padam!"
Dalam apinya, kita cuma pijar sesaat. Dan dalam apinya, kita hanya yang terlambat,
sebelum ada yang meledak di langit malam - lalu ramai orang memberi ucapan selamat.

2012

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung