Posts

Showing posts from November, 2007
Menunggu Kereta Berangkat, Berharap Kau Selalu Dekat Menunggu kereta berangkat ciptakan ruang tak bersekat, Cinta tak diganggu ruang dan waktu, di dalamnya kau dan aku; satu. Kotaku dan kotamu tertata sementara di bilangan jam tua, bahkan aku selalu merasa mereka ada ketika kuterjaga saja. Pekik peluit petugas, tuas-tuas rem dilepas, bendera dikibas, melepas katup-katup rindu. Meletup! Meletuplah aku! Ini rindu yang bertebaran di udara, bukan lagi asap batubara. Cinta telah ciptakan wangi semesta; Kuhirup, hiduplah aku! Perjalanan ini tak lama, persis tulisan di brosur pariwisata. Sabarlah, Kekasih. Sebab seperti itu juga, penantianmu tak lama. Kau tahu, Kekasihku, aku selalu berharap kereta cepat berderap, hingga jarak kita semakin rapat, semakin dekat. Dan ini sungguh lucu. Entah bagaimana aku merasa hatiku telah jauh tinggalkan kereta yang melaju. Menujumu. 2007

Malam Telah Menutup Segala Pintu

Malam telah menutup segala pintu dan buka satu jendela rahasia, yang kau tahu, dari sana kupandang wajahmu. Tak ada lagi rasa terkungkung, layaknya anak domba, lari aku di luasan pandang, menghidu segar rerumputan. Bahtera ini terdampar oleh nyanyi Calypso bibirmu di pantai-pantai abadi, cinta telah dilenakan waktu. Dan jika ku tak kuasa berpaling dari pandangmu, semata-mata oleh cinta belaka. O, cinta begitu berbahaya. Hanya badai buat malam ini semakin galau, tapi sepenuh cinta aku akan terus meracau. Bondowoso mengutuk Jonggrang tersebab cinta, kekasih jadi arca agar tak lagi tersimpan rahasia. Dalam gelap suasana, kuteriakkan; “Kau kekasih. Hanya kepadamu mataku tertuju.” Kau saja, kekasih. Malam ini, kekasih. Tidurku akan sangat lelap, tersebab namamu terdengar sepenuh senyap. 2007

Dongeng Taman Kota

Cahaya lampu berkelindan di antara pendar airmata, bertanya ia : siapa tak setia? Gadis dengan punggung bercahaya itu tengah menunggu di taman. Kenapa hanya gelap dan sepi mencekik setiap nadi? Pepucuk cemburu jadi gulma pada satu keyakinan : tak ada penantian sia-sia. Hingga pada pokok janji, kugantungkan begitu rupa : seutas putus asa. Dan angin pun mengayun-ayun. Dan pundak gadis itu naik-turun. 2007

Sajak Hasan Aspahani

Hasan Aspahani Bermalam di Rumah Tukang Sepatu AKU lihat engkau tidur bersama sepatu kata sepatu jalan ke mimpimu memang masih berbatu-batu, dan berliku-liku. Aku ingat sepatu ajaib kita dulu itu sepatu yang mengajari kita berjalan mendekat mimpi-mimpi dan kenyataan.

Tangan yang Menyebalkan

Tangan ini begitu menyebalkan. Seperti bus kota, dia tak pernah berhenti lama. Setelah meraba uban di puncak kepala, segera menyusut air mata. Dan dia masih belum berhenti, jemarinya kini memungut berbagai imaji : lengan, mata, telinga, hingga sikat gigi. Dan entah apa lagi. Sebelum ditemukan yang dicari, sesuatu yang telah lama pergi; sebaris puisi untuk kekasihnya. 2007

Dusta Telinga

Telingaku kini pandai berdusta, menganggapmu tak ada, dan lebih suka mempersilakan segala berita untuk masuk dan berjaga-jaga di setiap percakapan kita. Ketika kau berucap: aku, telingaku mulai merangkum berbagai penjelasan tentang : buku. Terutama yang pernah kita baca bersama; dongeng cinderella. "Ini pasti tentang mimpi," telingaku seperti meminta penegasan. Sebab mimpi adalah mereka yang diam-diam menyelinap dan memaksa kita pergi dari kenyataan. Padahal saat itu, kau tengah bicara soal : cinta. Sesuatu yang terdengar begitu mesra, tetapi telingaku masih mengembara di dunia tanpa suara. Hingga tiba-tiba kau berlalu. Tepat di saat telingaku tengah tersesat. Aku pun jadi begitu malu, sebab itu saat kau bilang : kepadamu, tapi kukira kau bertanya : apa jawabmu? 2007

Mataku, Sahabat yang Jahat

Mata kita masih bersahabat, bukan? Dulu menjelang ujian, di sebuah taman mereka saling melengkapi catatan. Lalu tiba-tiba bunga randu berguguran. Mataku menangkap isyarat perpisahan, pelupuk matamu mengangguk, mengiyakan. Dan seperti sebuah kolam, matamu begitu pandai merangkai kisah hujan, yang terbaca di mataku sebagai pucuk teratai yang tengah bermekaran. Sebetulnya mataku ini punya niat begitu jahat, betapa ingin dia mencuri larik kesepian yang belum sempat kautuliskan. 2007

Di Bawah Hujan Jeruk yang Ranum, Terpaksa Kita Tersenyum

: Fernando Botero Menggambar Potret Keluarga Di kebun itu, kita tamasya. Katamu, "Inilah surga." Maka kuajak serta anak-anak, kucing abuabu kesayanganmu, juga juru potret keluarga. "Ini momen bahagia." Aku ingin tertawa, di bawah jeruk ranum yang menghujan, senyum kita tahan. "Ya. Ya. Satu, Dua," Juru potret memberi aba-aba. "Sebentar lagi. Ya, tahan dulu." Dan senyum kita tersemai sempurna di kebun waktu. 2007

Kamar yang Sesak

: memandang The Baroque World of Ferdinand Botero Ini kamar penuh sesak, dan sepertinya tidur kita memang tak pernah bisa jenak; Bayi terjaga di atas kain tiga warna. Di balik pintu, kepala siapa tersembul malu. : Diakah yang selalu mengintip di redup mimpiku? Puntung rokok, perempuan tanpa rok, bercengkrama dengan pita di balik punggung serupa suapan madu yang begitu murung sebab aku dikalahkan kantuk. Lalu ada yang bercakap begitu mesra, gadis merah muda dan perjaka tua; "Ini malam begitu sempurna." Sementara langit biru gelap, bulan tergantikan bola lampu 5 watt. Ini kamar penuh sesak, piring kosong yang tergeletak. 2007

Yang Mengada di Hari Pentakosta

1/ Tak ada kobar api di kubah sepi, hanya dia mengetuk pintu menara. Sedang aku ragu untuk membuka "Ini Pentakosta," Dia menyapa, namun aku lupa : Ini hari apa? Kadang kubayangkan seekor burung hinggap di tingkap rumah; kabarkan bandang telah lenyap, daratan baru telah siap. Tapi pada pucuk zaitun, aku tertegun. Nuh tak lagi hadir di sini, pun Khidir, aku tak tahu ke mana mereka menyingkir. Semua nabi telah melihat api, kenapa kulihat kini hanya sepi? Lantas siapa mengetuk pintu menara? 2/ O Musa, O Yahya, betapa aku buta, tak pernah kulihat api yang menyala. Pun batu yang mengalasi mimpi; hingga kukira ini senyata-nyatanya sepi. 3/ Hanya saja, ada yang tak boleh terhenti. Api mulai meretas sepi, menyalakan lidah diri. Membakar mimpi ; kubah-kubah gaib, yang tak terjangkau suaraku yang parau, tak juga oleh risau pada cahaya di lilin lain. Bertanya aku pada sepi yang tak lazim, “Apakah Kau yang terpancar di situ?” 20...

Di Blenduk, Kesepian Kita Dibentuk

Dari larik-larik panjang, ada yang melenggang serupa kekosongan di tengah kesepian. Seingatku, bangunan itu bergaya gothic bertiang-tiang besar, lalu di atasnya patung-patung gargoyle saling memandang : kau yang melintasi bayang-bayang. Bangku-bangku besi itu kumpulan saksi betapa bunyi orgel terdengar gagah; “Kita dilumpuhkan sejarah.” Hanya saja, cahaya-cahaya yang terbangun oleh mozaik kaca terpatri di dinginnya sunyi. Seolah-olah kita baru bermimpi. Ada yang mengayun-ayunkan genta. Membangunkan kau yang tak nyata. 2007

Selamat Pulang

Sepertinya, hanya kita yang datang. Di sudut sana, tegak vas kembang, nyala lilin yang bergoyang, dan irama piano tua melantunkan "Ave Maria" Wajah dalam peti tampak begitu bahagia, hingga kita mengira dia yang menyambut walau tanpa kata-kata : "Mari masuk, sebelum semuanya membusuk!" Di kiri-kanan, orang-orang bertudung hitam sibuk bergumam, memainkan rosario, seperti jemari yang memutar knop radio : mencari lagu yang tepat bagi saat menanti. "Kapan kita pulang?" Ajakmu ragu. 2007

Percakapan Argometer 5

1/ Sekarang kita sama-sama asing, Tak dulu, pun nanti, kita tetap orang lain. Biar betapa inginku kaukenang, pada halte di taman itu, aku segera disergap kesepian. Padahal mungkin kita bisa bertukar alamat, sesuatu yang kita datangi, di mana akan ada kata-kata kita kurung dengan penanggalan, penggalan kenangan, dan sepi-sepi yang tertinggal. Meski nantinya, kau mengenalku sebagai angka, sejumlah recehan, dan sebaris ucapan : "Terimakasih. Senang bertemu lagi." Juga jabatan pada tanganmu yang nyaris basah. 2/ Kita tak pernah selesai mencari. Pun di jalan ini. Lagu-lagu yang terdengar di radio, meski bukan sejenis lagu mellow, tetap saja menggelitik di tengah kesepian yang panjang. Apalagi suara panggilan dan alamat-alamat yang serak pada radio panggil mungil itu, terasa benar seperti mendengar seruan ibu, tkurasa kau tak pernah tahu, bukan? Hanya angka-angka lucu merah jambu menjadi balon-balon ulangtahun yang ingin segera meletus, membuat aku seakan-akan rela; Suatu saat penc...

Percakapan Argometer 4

Kau tak perlu datang lagi, Supir Taksi apalagi hanya untuk mengantarkan lengan yang kaucuri, sebab aku justru merasa lebih bebas : tak lagi menulis puisi, atau sekedar gosok gigi. Ya. Sudah jelas kita bagian dari jalan, bukan? Di mana kesibukan adalah ayah yang sangat ingin menelantarkan inspirasi. Padahal di rahim ibukata, taksi-taksi berseliweran tanpa kendali. Jadi buat apa lengan itu kaubawa kembali? Pergi saja lah, duhai Supir Taksi. Catatan angka pada argometer itu telah kuingat betul. Sebuah kombinasi nomor yang ingin kuhubungi sewaktu-waktu. Pergi lah lenganku. Pergi lah. Bawa juga sajak-sajak lamaku. Sajak-sajak tentang pepohonan, hujan, dan anak yang hilang kenangan. Aku tak perlu semua itu, sebab kini di jantungku tumbuh jemari: pemutar nomor itu, nanti. 2007

Pesta Dansa

Tak ada kepura-puraan di kafe itu, dalam dekapan pemuda, dia berdansa : entah di degupan ke berapa, dia terlena. Tuts-tuts piano selincah betina yang manja, mengeluskan bisikan lembut di telinga "Kita tak butuh siapa-siapa," jeritnya. Sebotol rum dan wangi parfum, juga seulas senyum mata kita pun meruang pada temaram lampu "Apakah benar kita ini hanya memperpanjang ragu?" Hanya saja, kepastian tak datang di kafe itu, seperti angin seusai badai, dansa itu usai. "Aku hanya merangkai apa yang ingin kaucapai." 2007

Percakapan Argometer 3

( sejumlah kuplet yang tert ulis dengan akhiran ~an ) Rupanya taksi memilih riuh kesepian, diturunkannya aku di sebuah simpang jalan. Simpang jalan tanpa ramburambu peringatan, hanya papan-papan iklan penuh kesombongan. "Jalan ini khusus untuk orang yang ditinggalkan." Dari muramnya mural di kolong jembatan, kudapat keterangan. Dan dari sana, muncul orang-orang dengan sebelah lengan. : Orang-orang yang kehilangan dekapan. Mereka menyambutku; "Selamat datang kawan." dari wajah mereka mengalir kehangatan. Dan tiba-tiba, mereka melebarkan pelukan. Seakan aku, teman lama yang kembali ke tanah kelahiran. Aku berteriak, "Hei, mungkin ini sebuah kesalahan!" sebab aku merasa di tubuhku tak ada kecacatan. Di kolong jembatan itu, mereka tertawa bersamaan. "Lihatlah", kata mereka, "Kau hanya punya sebelah lengan." Aku lalu mengumpat,"Dasar Supir Taksi sialan!" Kenapa dia tak memberitahu lenganku ketinggalan?

Di Dadamu Ada Nuh

Di dadamu, dermaga Ararat. Seorang Nuh telah melempar sauh, sambil memandang gunung-gunung yang jauh. Gunung-gunung yang kemarin timbul tenggelam dihantam gelombang. Gunung-gunung yang tak lagi ada sisa-sisa sangkar burung. Di dadamu, bahtera mendarat. Dan berkeriapan segala hewan menjangkau lubuk-lubukmu dengan riuh. Lubuk-lubuk yang kemarin hilang di dasar bandang. Lubuk-lubuk yang kehilangan palung. Di dadamu, aku berumah. Menikmati sejarah yang tumbuh jadi ilalang. Di sepanjang lipatan dan kerutan. 2007

Selembar Buku Harian Seorang Penyair

Ada penyair menulis demikian pada selembar buku harian : “Aku ingin perih yang kosong, perih yang tak pura-pura sedih, pun perih yang tak terbalut letih.” Setelah kalimat itu, ada gambar orang lapar, orang yang saling cakar. Lalu potongan kliping surat kabar : Sebuah toko habis dijarah dan dibakar. Kupikir, penyair itu orang yang begitu sabar. Dia menulis, menggambar, juga mengumpulkan berita, & nanti dia akan membacakan renungannya pada sebuah perhelatan sunyi. 2007

Percakapan Argometer 2

Sampai di jalan sunyi, tiba-tiba taksi menepi. Pada aku yang dilanda kecemasan, supir taksi malah cengengesan; "Hai Anak hilang, yakinkah Kau bisa pulang?" Aku curiga supir taksi itu sesuatu / sesiapa yang keluar dari dalam sepatuku; sebab dia begitu tahu tujuan perjalananku. 2007

Percakapan Argometer

Tak ada yang pernah bertanya : kenapa supir taksi senantiasa terlihat gembira? Hingga suatu ketika aku terpana, sebab katanya: "Tubuh ini hanya sebuah alamat yang harus segera dituju." Juga sepertinya tak ada yang peduli : bagaimana bisa kota melahirkan ribuan taksi? Lalu menelantarkan begitu rupa, hingga mereka sibuk mencari penumpang seperti aku. 'Selamat malam, Penumpang. Kemana akan kaubawa kita menggelandang?' Taksi itu menepi dan menyapa. "Aku ingin bertemu Ibu. Dan kurasa kau sudah tahu." 2007