Posts

Showing posts from 2006

catatan akhir tahun

jika tanah masih berhumus kukira engkau yang begitu tandus menyemai embun dengan kenangan tanah merah pekuburan tempat ibu memetik bunga kamboja jika hujan masih basah tak hanya aku yang begitu resah nikmati luka luka penuh nanah bumbu hidup bertabur garam di sana engkau banyak temukan diam hanya angin pengembara teman lelaki pengelana di sebuah negeri tanpa nama mereka bisa tertawa bersama aku dan kamu, entah siapa dan mereka masih berduka

setidaknya

setidaknya, biarlah kepedihan tertancap di punggung kami walau sejenak biar dada ini tak selalu tegak setidaknya, hentikan sebentar lari kami yang hilang arah sebab kadang kata terendap di sela sela batu dan tanah setidaknya sejenak biarkan kami berbaring bersama bumi di bawah matahari yang sama

mahaduka

1/ luka mendedah air mata ada kenangan terbuka saat kita tak menginginkannya 2/ duka serupa langit di hari petang sebentar lagi malam akan mengekalkan warna hitamnya 3/ air mata kembali meruah banjir tak berkata sudah sungai alirkan resah hujan nyanyikan warna darah di sini, kami menghitung tubuh kami sendiri dalam gigil yang tak kunjung musykil

[Pernyataan] Cak Bono dan Asosiasi

Asosiasi dan hasil proses asosiasi berawal dari persepsi -"esse est percippi". Sebuah persoalan persepsi tentang bagaimana kita melihat suatu realitas. Misalnya saat bersama-sama berkumpul di Stasiun Gambir sambil melihat langit sore yang merah dan juga Tugu Monas yang tegak berdiri di sana maka akan banyak persepsi yang tidak akan sama antara satu orang dengan orang yang lain. Dari satu peristiwa di atas, akan ada banyak kalimat-kalimat puisi yang tercipta, misal : "Senja yang menepi dijemput malam" - Johannes Sugianto "Sore itu perih sekali" - Cak Bono "Kerlip binar matamu : airlaut yang menggerus lunas perahu" - Dino F. Umahuk "Langit sore menari gemulai" - Anto Bugtronic "Jingga melarut pada malam" - Fitri Menurut Cak Bono, salah satu ciri orang yang berbakat puisi itu ekspresit, melatih berkata-kata setiap saat, sedikit demi sedikit. Sebab puisi adalah kata yang dilatih. Pada setiap persepsi, ada lautan bawah sadar. ...

dari sebuah kalender

1/ lautan airmata angka di kalender menghitung jumlah luka 2/ angin seolah tak ingin ribut hujan telah terdiam di kolam lumpur menanti suara terompet dinyaringkan kaki ini kami tarik ke atas hindari tanah yang bergerak basah sambil mengisak dalam diam angka kembali menjadi juri suara siapa yang paling lantang 3/ tahun ini hujan penuh isak kami juga jenuh mungkin lewat malam ada seseorang tertawa riang

desember di hatimu sungguh hangat

dekat perapian dan pohon terang semisal lilin di atas meja bertatap mesra anggur dalam cawan sepasang anak dara bersayap tipis salju dalam kaos kaki tebal dan rimbunan kotak berpita semisal lonceng yang bergema ditingkahi terompet sukacita rusa rusa berlari menanti bintang fajar

kelambu

: anb selalu saja ada gangguan setiap malam sebelum terpejam sebuah doa yang belum terucapkan bahkan seekor nyamuk yang cari makan lalu aku masuk ke dalam kelambu satu-satunya teman tidur yang tenang ia redakan gangguan malam tapi aku malah tak bisa tidur berpikir kelambu ini begitu nakal dipenjarakan aku dalam ruang dengan alasan menahan nafsu jalang milik nyamuk-nyamuk kelaparan aku ucapkan sepotong doa "biarkan kelambu itu tidur, Tuhan" sebab malam masih teramat panjang

[Sajak Emily Dickinson] Life part IX

THE HEART asks pleasure first, And then, excuse from pain; And then, those little anodynes That deaden suffering; And then, to go to sleep; And then, if it should be The will of its Inquisitor, The liberty to die. === hati ini lebih dahulu meminta bahagia, dan di sana ada maaf dari duka, dan di sana pula ketenangan sementara yang merana meredam lara lalu untuk bisa tidur; seperti yang seharusnya wasiat dari Sang Penanya, kebebasan untuk mati

[Sajak Emily Dickinson] XXIII

XXIII I REASON, earth is short, And anguish absolute. And many hurt; But what of that? I reason, we could die: The best vitality Cannot excel decay; But what of that? I reason that in heaven Somehow, it will be even, Some new equation given; But what of that? === kusadari, hidup begitu singkat, dan kesedihan mendalam yang nyata. dan banyak luka; tetapi apakah itu? kusadari, kita akan mati: daya hidup paling luar biasa takkan bisa melampaui kehancuran tetapi apakah itu? dan kusadari nanti dalam surga yang entah, tapi pasti terjadi, ada kesetaraan baru yang diberi; tetapi apakah itu?

[Sajak Emily Dickinson] Life II

II bagian kita dari malam adalah menahan, bagian kita dari pagi, kekosongan kita dalam bahagia adalah mengisi, kekosongan kita dalam hinaan. bintang di sini, dan bintang di sana, kadang hilang arah. embun di sini, dan embun di sana, esok hari!

punggung ibu

seruling gembala tak bisa lagukan sepi sebagaimana lembu dan domba memamah pucuk pucuk muda dengan gembira "hutan semakin menua nak, pungutlah kayu bakar dari semak saja" di tepi padang aku dan ibu duduk memandang gunung di sebelah sana langit tampak murung mungkin dia iri pada keceriaan gembala dan ternaknya atau pada ibu dan aku? hari menjemput hujan saat kami melangkah pulang ibu dan aku berjalan beriringan menyunggi kayu bakar kulihat punggungnya makin runduk sementara hujan makin peluk tapi ibu berjalan cepat, ada yang harus dia kejar "ayo, nak! ibu belum masak untuk makan malam!" sayup-sayup kudengar gembala berdendang melayu menggiring ternaknya ke rerimbunan bambu

aku belum bisa menulis rindu untukmu ibu

1/ aku belum bisa menulis rindu untukmu ibu seperti hujan yang menyapu bumi rinainya rintik di tengah telisik waktu dan daun pun luruh tak sanggup memeluk rengkuh tak ada lagi yang tumbuh setelah dia jatuh 2/ angin telah berlalu musim menggigil pilu kesetiaanmu bagaikan batu menilam sunyi yang bertalu 3/ aku belum bisa menulis rindu kepulanganku terbalut ragu di antara kaki, tangan, dada dan rambutmu aku tersesat tanpa malu maafkan aku

tangis ibu

ketika hujan, ibu tak segera memanggil matahari dibiarkan sejenak aku kuyup dan rinduku begitu gugup tak berani aku bertanya tentang kehangatan sebab sudah lama aku tak mencatat kenangan ibu hanya diam kala air mulai menggenang "cobalah untuk berenang"katanya tenang aku tak berani membantah "sebentar lagi hari cerah", pikirku ketika matahari datang kulihat ibu tersenyum senang dielusnya kepalaku "kau sudah belajar tentang cuaca" katanya ada yang samar di balik mata ibu yang berbinar "kenapa aku tak sempat mencatatnya?"

sepatu untuk ibu

ibu menebar benih di awal musim maka pada setiap jengkal tanah ladang yang ditugal, kaki telanjangnya simpan sebuah rahasia "kau akan mengetahuinya nanti setelah berbuah" dan dimintanya aku tenang karena hujan mulai kerap datang menjelang panen, bapak mengundang tukang ijon rahasia kami pun bertukar dengan angka padahal aku sangat ingin tahu bagaimana rasanya buah hasil semaian ibu "kau tak perlu sedih, nanti kau bisa buat kebun sendiri" aku pun mulai membayangkan diriku bisa bercocok tanam tapi ibu kemudian bercerita tentang luka patukan ular di kakinya "kau juga harus siap bertarung dengannya di kebunmu sendiri" tiba-tiba aku ingin mengadu kepada bapak meminta sebagian hasil penjualan untuk membeli dua pasang sepatu : satu untukku dan satu untuk ibu

Tak Ada Saran dari Pablo Neruda untuk Para Penyair Muda

Ketika diminta untuk memberikan saran kepada penyair-penyair muda, Neruda sepertinya enggan. Katanya tak ada saran yang dia bisa berikan kepada penyair-penyair muda. Sebab menurutnya, para penyair muda harus mencari jalannya sendiri, dan harus menemukan kendala saat ingin mengemukakan perasaannya dan harus mengalahkan kendala tersebut. Apa yang tidak akan pernah disarankan kepada penyair muda oleh Neruda adalah memulai dengan puisi politik. Puisi politik punya emosi yang sangat pelik dibanding dengan yang lain - setidaknya seperti kebanyakan puisi cinta - dan tidak dapat dipaksakan karena ia akan menjadi vulgar dan tidak dapat diterima. Sangat perlu melalui banyak jenis puisi sebelum mendalami puisi politik. Penyair politik harus mempersiapkan diri menerima kecaman yang ditujukan kepadanya - penyair yang berkhianat, atau karya sastra yang berkhianat. Kemudian juga, penyair politik harus mempersenjatai dirinya dengan kekayaan isi, substansi, intelektualitas, serta emosional yang ...

ibu itu

ibu itu perempuan berdada lembah di mana burung-burung singgah dan anak domba bermain lincah rambutnya cakrawala yang senja aku sering tidur di sana memainkan mimpi di ujung-ujung malam dan bernyanyi lagu "bubuy bulan" sebelum kudengar dia berkesah ke dunia tanpa makna, aku berpindah ibu kerap memainkan harpa senar senar begitu getar rumah ini penuh hingar walau pun bapak tak pernah punya kabar.

ibu tak pernah pakai sepatu

kaki ibu adalah jalan yang kulalui ketika pergi ke sekolah aku seringkali terjatuh dan terantuk bebatuan di sana "kau harus hati-hati melangkah. sepatumu itu hasil keringat bapak. peliharalah sampai lulus nanti" sejak itu, aku lebih sering jalan telanjang kaki

sepatu pelari

dia punya sepatu pelari tapi lebih suka lari telanjang kaki dia memang sedang tak ingin berkeluh tentang kerikil di jalanan yang mendaki dia ingin sepatu itu punya cerita di sepanjang pelariannya sendiri barangkali tajamnya kerikil itu nyata dan perjalanan memang begitu mendaki

pada sepertiga malam

1/ sebab jemari ingin begitu gundah hingga setiap pori menjadi api lalu memadam usia malam di sepertiga puncak kenikmatan tepat sebelum kaubuka seluar di mana embun berkibar juga musim seruakkan wangi tubuh 2/ di simpuh kakimu yang terlipat kuletakkan sudut kening supaya lebih dekat kucumbu aroma surga tapi ah, kenapa selendang itu begitu halangi pandang? 3/ sungguh, sudah ada yang terkulai sebelum jalar desah nafas berkibar di seluruh dinding kamar pada cawat malam yang hampir terlukar aku terbakar ingin yang tak kelar

kepada seorang penyanyi rock

di balik panggung aku pikir ada malaikat berjubah hitam bertanya padanya rasa seteguk anggur : "kau sering mencecapnya, bukan?" dengan suara serak, kau bicara tentang semangat dan ribuan orang mengamuk lantaran tidak punya tiket masuk tapi sepertinya, ini malam sangat biasa hanya ada embun sebelum hujan turun di atas panggung, sesuatu telah terkurung mungkin sebutir anggur yang turun dari surga

kepada seorang penyanyi dangdut

sepertinya Tuhan tiupkan ruhmu dari kelopak tangan hingga tak sanggup lagi irama melawan indahnya tarian lalu tabla jadi hentakan kaki tak lupa seruling liukkan pinggul semenjak panggung didirikan ada yang hilang dari tatapanku mungkin tersesat di rumah seseorang

sajak sebuah selimut

dari balik selimut tua tiba-tiba sajak itu tersingkap selepas tidur, sebelum bangun dia telah setia menyelimutiku hindarkan tubuh dari dingin subuh tapi aku masih penuh gigil entah karena usianya yang menahun atau punggungnya tak lagi utuh tak cekatan lagi dia tangkap dingin bahkan sering gagal tangkup kehangatan tapi kata kata akan tanpa makna jika sajak pergi begitu saja segera kurapikan tidur juga melipat mimpi dan akan kuselimuti sajak itu

kutemukan sepi saat musim berbunga

oh, musim berbunga di mana kan kutemui sepi? sedang di sini lebah dan kumbang belalang dan kupu kupu riuh beterbangan di gersang ladang, telah kutinggal sebuah sajak tunas semanggi berdaun empat katamu : "ah, itu keberuntungan semata" lalu kau terbang entah bersama lebah, kumbang belalang atau kupu kupu pikirku : "dan bunga tak lagi bersenandung" di ladang ini, kutemani tunas semanggi dan seperti kau pernah berjanji "keberuntungan tak datang setiap kali"

sajak di ladang

1/ seperti juga rindumu, pucuk pucuk bernafas angin sedang sepatuku masih bertemali ragu jika cintamu begitu, daun pun melayang ke bumi tapi arti perjalanan ini belum kutemui 2/ maka di langit janji kutabur rupa benih yang disemai di ladang kita dan jika pada suatu musim terpetik berita aku akan pulang untuk menjemputnya

kembang kertas

Image
duh, kembang kertas rindu siapa t'lah meretas? esok seperti hari yang lari di mana sunyi lahir sendiri

bunga bakung

Image
sesederhana bunga bakung aku memelukmu dalam rindu di bawah langit mendung biar hanya kita yang menjadi debu

lily casablanca

Image
1/ lelaki bermata basah perempuan berwangi resah mendekap hari yang paling lelah 2/ oh, di dada ini ada yang meletup! sebab wangimu melesak begitu dalam dan paru paruku begitu kuncup di dekatmu, aku serupa bayang kelam 3/ gaun perempuan itu masih putih sedang wangi tubuhnya resah di sebelahnya, mata lelaki itu basah pandangnya menghujam ke bumi

bunga ilalang

1/ ah, andai sajakku terdampar di sisi lembah akan kukenali kau, bunga ilalang sebab dalam perjalanan panjang selalu ada kata singgah 2/ anganmu terlalu ingin taklukkan angin hingga arah berdesah pasrah dan sajak ini mungkin terlalu lemah tuk hangatkanmu di hari dingin 3/ di sisi lembah yang sunyi cuaca dingin paksaku bernyanyi lagu tentang bunga ilalang yang lama t'lah menghilang : di manakah dia singgah ?

kamboja

1/ tak pernah musim begitu mendung ketika sajak luruhkan murung jatuh ia sebagai gerimis kuburkan sisa sisa tangis 2/ di pekuburan tanpa nama di kuncupmu sajak berbunga di dada ini masih ada kata 3/ kamboja di ujung senja siapa terkubur sia sia? sebab malam nanti sajakku akan terkubur di sini

Penyair Bulan Desember : Emily Dickinson

Berikut ini adalah biografi Emily Dickinson yang saya temukan di sebuah situs online-literature. Emily Dickinson saya pilih sebagai penyair bulan Desember karena dia lahir di bulan Desember. Di samping itu, banyak penyair Indonesia yang mengakui terpengaruh oleh kepenyairannya. Dia dianggap sebagai penyair Amerika yang paling berpengaruh pada abad ke-19. Dia banyak menggunakan baris tak berima. Menggunakan tanda penghubung yang tak umum. Juga huruf-huruf kapital yang menurut orang banyak tidak pada tempatnya. Tetapi dia sangat kreatif dalam hal penggunaan metafora dan gayanya sangat inovatif. Dia wanita yang sangat sensitif. Mengeksplor secara kejiwaan spiritualitasnya. Bahkan puisinya terasa sangat personal. Dia kagum dengan karya John Keats dan Elizabeth Barrett Browning, tetapi menghindari gaya berbunga-bunga dan romantis. Selama hidupnya dia menciptakan puisi yang murni dan mengandung imaji-imaji, bersamaan itu dia menggunakan kata dengan sangat cerdas dan mengandung ironi...

dan malam pun sempurna

ular melacak panas di udara sebelum didapatnya mangsa ini saat lelaki merintih tersebab luka yang perih perempuannya lebih ingin mendekap malam yang dingin dan malam pun sempurna seperti ular menelan mangsa seorang lelaki tanpa nama merupa hampa di rongga dada ah, itu perempuan mendesis!

pedas di ujung lidah

seperti sudah diduga, air mata perempuan itu jatuh ke pasir bukit sejak semalam telah disandangnya rasa sakit di seberang gunung, lelaki yang sangat dikenalnya gelisah seekor ular mendesis di sebelahnya seperti ada pedas di ujung lidah pesta buah berlangsung di saat yang salah mereka tercerai mencari penawar tulah

dendam ular

mata itu selalu terbuka meski di dalam liang tanah sehabis berburu tikus seekor ular merapal mantra ada yang tak akan dikatakan sebelum empat puluh hari lamanya dia ingin lanjutkan tidurnya di dunia yang lebih hitam daripada dendam

kamus seekor ular

dia begitu setia mencatat celah ketaksetiaan guratan guratan ingkar api di pohon itu "suatu saat, pintu ini takkan tertutup rapat" gumamnya memandang ranumnya buah lelaki itu pergi ke ladang menanam pisang, mengusir babi hutan perempuan tidur memeluk selimut kesepian lalu entah dari mana asalnya rasa haus itu ke arah yang sama mereka menuju "mungkin ini saat membuka diri" ular bergumam, sebutir buah ranum sudah mereka genggam api melingkar lingkar di pintu tak tertuju ular itu entah kemana berlalu

embun ini tak lagi sunyi

1/ embun ini tak lagi sunyi ada ratapan di tiap helai daun tersisa di kabut senja hari ini, angin merana 2/ bisu pun tuntas membeku angin telah berhenti menyapa sesuatu luruh sebelum musim berganti 3/ inilah musim tanpa angin di mana lelaki pergi dan wanita menanti pohon pohon lagukan sunyi embun pagi membeku sendiri

peri mimpi

setiap malam, peri mimpi datang di balik selimut mengajakku pergi ke negeri negeri jauh dikenalkannya padaku senyum senyum manis dan mengulang celoteh terakhir yang paling berkesan sebelum tidur tetapi kadang dia jahat juga diajaknya monster monster menyeramkan untuk main kejar kejaran juga smack down aku pun ketakutan dan jadi ingin pipis untunglah ibu sangat baik biasanya sebelum tidur aku diminta pipis terlebih dahulu dan juga berdoa agar peri mimpi tidak terlalu usil

nama yang diam

(kolaborasi puisi dedy tri riyadi dan pakcik ahmad) ada tiga ratus enam puluh makna diam di sekeliling nama itu empat kali langit berputar bertukar sunyi di antara aksaranya lalu simpuhku menjadi debu dan angin menerbangkannya ke lempung berbentuk bejana dengan yakin yang sungguh, aku mendengar keluh "Siapa yang tak patuh?" bibirku jatuh menuai derak yang terdengar bernada rapi satu satu bulurindu menjelma dalam wujud malaikat tanpa sayap daya sebesar buana pun melontarkannya mengawang jiwa kelana tak ingin singgah, tapi ada yang membuatku harus pasrah kukutip satu persatu tanggalan masa pada bulu bunga ilalang sepertinya ketetapan sudah menjadi jerat bagi hasrat yang hilang o diam, o bungkam, kelukan aku

hikayat seorang lelaki

dia seorang wanita yang menanti karena sepi dipukulnya ranting pohon itu pohon yang dijanjikan untuk tidak dijamah seekor ular mendesah pelan "kenapa kau bangunkan tidur panjangku?" dia butuh seorang teman yang bisa diajak bercakap-cakap tentang keindahan ular lalu bercerita hikayat seseorang yang sangat dikenalnya tapi wanita itu teramat bosan tak sengaja tangannya menyentuh sebentuk buah ular memekik "apakah itu hatimu?" pada seseorang yang tak dicarinya wanita itu membuka telapak "kamu mau?"

dewi malam

tak pernah lengkap catatanku tentang dewi malam yang kuingat adalah kecupan ibu, dongeng yang tak kunjung tuntas, dan teriakan "goool" milik bapak. dari mulut penjaga sekolah yang terkantuk yang kudengar tentangnya hanyalah suara kodok, derik jangkrik, dan ratapan musang kekenyangan. jika nanti aku bertemu dewi bulan akan kudongengkan kisah penjaga sekolah tapi yang pasti aku akan berteriak sekeras-kerasnya melebihi teriakan bapak.

Tuan Matahari

:HAH Tuan Matahari, demikian kusebut teman bermainku setiap pulang sekolah diajaknya aku membuat bayangan Namun Ibu selalu mengingatkanku untuk segera tidur siang dia tidak ingin kulit anaknya menjadi hitam Aku jadi ingin bertanya pada Tuan Matahari adakah seseorang yang bersembunyi di balik punggungnya dan bersiap dengan cat hitam di tangan untuk melumuri kulitku

bersandar

tak usah saja ada jendela terpasang di dinding gerbong sebab tak seorang pun dari kami ingin melukis pemandangan juga bangku bangku itu tidak perlu, toh duduk dan tidur kami selalu beralaskan koran bekas di sepanjang lorong gerbong kami akui dalam perjalanan ini ada yang sibuk sorongkan karcis untuk dilubangi atau bahkan banyak yang menghindar dari kondektur tak ada yang sempat nikmati warna langit dan hembus udara sebab lelah ini lekat benar di punggung kami dan tak pernah bisa bersandar

beristirahatlah (dalam) damai

1/ sebelum pesan itu sampai ada nada yang tabah menunggu tidakkah kau terganggu? 2/ jika damai beristirahat maka kita harus kerja keras untuk membangunkannya 3/ istirahat tak sama dengan menunggu padahal sama dalam artian jeda waktu 4/ kata damai sudah lama terpahat di batu batu nisan tempat bermain petak umpet saat kami masih kecil saat melihatnya, aku berpikir mungkin dia juga sedang bermain petak umpet bersama kami tapi mungkin dia sebenarnya tersesat atau bahkan tak mau kami temukan

di bibir ini ada nama

1/ nama itu serupa hujan basah dan dingin maka bibir ini tak pernah nyaman selalu luapkan banjir kata hanya untuk lebih sering basahkan hati 2/ mengeja setiap huruf dalam nama itu memecah setitik beku dalah hati ini 3/ tiba-tiba saja bibir melahirkan kata dan kemudian kita beri dia nama 4/ di bibir ini ada nama meski hanya sebuah kata namun selalu punya makna begitu dalam di palung hati

rindu dalam kwatrina

1/ haus ini telah kering bibir kemarau panggang gelisah usang hujan di langit tak jua hadir berjuta harap jadi ilalang 2/ bulan pucat pasi malam tanpa isi angin mendadak pergi dengan siapa aku di sini? 3/ bulan di langit kemarau pucuk ilalang tegak kaku suara rindu telah parau mengusir sepi di sebelahku

Membaca Darwin

1/ ada yang purba dalam kepala darwin pun menerka sejarah dan tiba-tiba seekor kera muncul pada halaman tengah 2/ begitu purba begitu lemah begitu juga sejarah ada dua bayang di buku tua darwin dan sesuatu entah apa 3/ aku terlalu sibuk membaca darwin tapi tak ada kera di halaman selanjutnya

porong merongrong

ada pemberontakan. aku pikir itu laut. lengkap dengan ombak. bergemuruh. orang-orang bersenjata. aku kira itu bukan cuma senjata. tetapi itu laut. sengaja menyorongkan senjata. seperti tombak. aku yakin itu pemberontakan. bukan cuma laut. angkatan yang bergelora. orang-orang mencari suaka. berlarian ke arah laut. itu bukan kejadian biasa. bukan senjata biasa. itu tombak. memberontak di dada. darah bergelora. ada lautan darah. aku kira itu lautan orang. berenang dengan satu tujuan. mencari senjata.

misteri secangkir kopi

hirupanku tak lagi tuntas pada secangkir kopi pagi ada yang menjadi ampas ketika tersibak satu misteri seorang gadis pembuat kopi memasak biji kopi pilihan ekskresi musang bulan ditambah segenggam jagung kering oh, tak sanggup lagi aku minum kopi ini terlalu penuh rahasia meskipun gadis itu tersenyum di cangkir itu terbungkam kata

cinta dalam kwatrina

1/ serupa musim geliatkan mentari begitu ingin gairah hariku menderai angin lagukan rindu demi gugurnya tanda yang menanti 2/ seiring layu bunga mimpi nyalang benar mata inginku cinta ini tetap kucari meski nyata masih lah jauh

Sesaat Sebelum Kereta Masuk Terowongan

1/ jendela merekam cahaya yang paling berbinar lalu dititipkannya di pelupuk mata "diam, jangan beranjak dari sajak" 2/ aku mendekap dadaku sendiri kurasa gemuruh yang lebih deru dari kereta yang melaju ada getar menghentak di setiap sambungan rel terowongan tawarkan malam di hari yang siang ah, aku tak siap untuk pulang! 3/ dalam gelap kudengar suara ratap dada ini terpaksa erat kudekap "puisi, puisi, kenapa kau pergi?" 4/ di pelupuk mata cahaya berpendar sebentar lalu entah siapa yang berpuisi tentang matahari yang sama menunggu di seberang sana 5/ sambungan rel di atas jembatan melagukan rindu yang sama berderap ke kota yang sama di mana kenangan lama terbaring di bawah matahari musim kering 6/ di dada ada degup sebuah rindu meletup tapi tak kulihat gugup meskipun cahaya kian redup

(Obrolan) Dari Siang sampai Malam bersama Joko Pinurbo

Siang itu, di teras sebuah kamar audiovisual milik Johannes "Gie" Sugianto, saya berbincang sedikit dengan Joko Pinurbo. Mengganggu waktu istirahatnya. Ada kesan gelisah yang saya temukan pada wajahnya. Entah apa. Mungkin dia sedang berpuisi di dalam hati. Maka saya pun mulai bertanya yang ringan-ringan saja. + Apa yang menjadi inspirasi anda dalam mencipta? - Apa saja. Semua hal di dalam kehidupan adalah inspirasi. + Apa makna celana dalam puisi anda. Saya menerkanya itu seperti hidup dan kehidupan. - Ya bisa dibilang seperti itu. Di dalam hidup ini kan ada yang bersifat essensial dan ada yang artifisial. Ada kan orang yang hidup tapi mati secara kehidupannya? + Saya sangat tertarik dengan sajak Ranjang Ibu. - Wah, sajak itu banyak sekali yang bilang paling menarik. Itu memang ranjang yang berderit-derit seperti punggung ibu. + Saya pertama membaca sajak itu, saya pikir anda tidak bisa tidur lantaran ibu sedang sakit. Tapi kemudian saya baca lagi wah ..dalam sekal...

Ketika Musim Berbunga

ketika musim berbunga angin salah menerka arah sunyiku pun tak lagi indah taman berpagar gundah

nada lagu rock

satu nada tinggi dari lagu rock tentang pagi kucuri dalam sepi nanti jika engkau pergi kan kupakai 'tuk bisikkan namamu

Sepatu Budi

Budi pergi ke sekolah tanpa sepatu ketika guru memintanya menulis cita-cita dia tuliskan kata dengan huruf kapital "Aku bersekolah supaya pintar. Setelah lulus nanti, aku akan bekerja. dan gaji pertamaku nanti akan kubelikan sebuah sepatu baru."

selembar sajak di kelopak mawar

mawar yang indah merahnya menidurkan malam yang penjarakan bulan di pelupuk mata hingga titik titik embun hanyalah sisa peluh tak tamat ditulis pada setiap kelopak kutemukan selembar sajak tidur di tengah gigil kerinduan malam mawar yang indah dan aku yang lelah merangkai panorama langit tanpa bintang

Kita pun Bertukar Sebelah Sepatu

Sajak Hasan Aspahani : Dedy TR KITA dulu bertemu ketika kita masih belajar berjalan. Masih sama telanjang kaki. Kau membanggakan parut di telapak dan lutut. Aku bercerita soal sakit ketika rambut yang mulai tumbuh di kaki harus dicabut KITA pernah terpincang-pincang. Nyaris saja jatuh. Dan mengira gunung yang hendak ditaklukkan terlalu tinggi untuk kaki kita yang masih juga telanjang. "Kita tak boleh letih," katamu. Kita mengenang Sepatu di puncak itu. KITA bertemu lagi setelah punya sepasang sepatu. "Tapi aku tak sempat lagi kemana-mana," katamu. "Ah, mungkin sepatu barumu perlu dibawa jauh dari toko yang menjualnya dulu," ujarku. Dan kita bertukar sebelah sepatu. Sepatu palsu.

dimana sepatumu?

aku menuju Ibu dengan berlari di jalanan siang ini orang ramai berorasi lalulintas semrawut polantas kalangkabut sebentar lagi kubasuh muka dalam teduh air mata sempat kudengar pistol menggelegar ramai orang gempar mencari siapa yang menggelepar perjalanan ini makin terik siang dibakar dengan sempurna dari arah yang berbeda roda roda baja memasang badan rantai manusia kendur perlahan perlawanan itu reda? dahaga kurasa begitu meraja di tiap tetes air mata ibu akan kututup duka tapi masih terdengar teori penyerbuan di jalanan yang bukan pasar sepatu sepatu berserakan tak ada yang mau menawar hanya di pangkuan ibu sapaku mungkin akan berakhir ada darah berarti ada luka lantas jerit itu untuk siapa? jalanan lebih manjakan angin dan debu sekadar pengingat muasal manusia wajah ibu berseri seri sebelum bertanya padaku : dimana sepatumu?

Matinya TV Kami

Matinya TV kami "Wajah pembunuh itu menakutkan!" Ibu menutupkan bantal di wajahnya sendiri Bapak menyalakan sebatang rokok dalam bayang asap wajahnya berbinar siaran sepak bola sebentar lagi Di buku gambar, remote tv pecah dua buah batu baterai berloncatan

Sepatu yang Kehilangan Kaki

di musim sepi kaki relakan sepatu temui dingin yang menunggu sedang di pelukan selimut gairahnya telah direnggut perjalanan tak lagi punya makna demi sesaat rasa : kehilangan

Sepatu yang Pertama Mencium Bulan

: pradnya paramita 1/ dicarinya pandang bulan pada jalanan penuh debu sebelum berkata lirih betapa ingin ia menciumnya 2/ mungkin ia terlalu khusyuk bergelut dengan temali kusut hingga lupa ada yang melompat sebelum akhirnya mengumpat 3/ meski terhempas kenangan itu tak pernah bisa lepas bersamaku ia tidur sepanjang waktu

Sepatu di atap Kereta

1/ sepatu di atap kereta tak mau turun di stasiun ia dengar Musa bicara pada cahaya ditebaknya pijar kawat baja menuju ke manakah jiwa? 2/ di antara deru kereta laju ia dengar bahasa rindu seperti sapa Isa pada bayu "tenanglah!" 3/ di atap kereta ia menghitung mundur kematian sang waktu saat dimana ia pergi tanpa perlu dinanti kembali

Sepatu Cinderela

: inez dikara 1/ siapa telah tinggalkan duka? sedang aku terlalu ragu untuk memunggutnya 2/ pengharapan apa yang pantas dibingkai di kaca kaca yang getas? retaknya jelas terpantul dari mata sang bulan yang terlambat muncul

Berlindung di Bawah Sepatu

aku adalah debu di bawah telapak sepatu berlindung dari tatapmu

Sepatu Bertumit Tinggi

:kelana dia mematut diri di depan jernih besi pintu lift "pagi ini adakah yang belum kupandang rendah?" ketika pintu lift terbuka dia masih cemas menunggu kapan hari tertutup

Pengkhianatan Sepatu

Di negeri ini, sepatu berkhianat menginjak kaki kaki kami sebelum kausebut itu kiamat aku telanjang kaki di negeri sendiri

Sepatu Sang Kekasih

Lama ditatap paras kekasihnya tanpa kedip lalu pandang meladang hingga ke mata kaki " Sudah hampir pagi dan bulan di matamu ingin segera pergi tuliskan rindu di petak petak mimpi " Maka kuajak dia kembali susuri jalan pulang sebab tak hendak menahannya dalam gelojak saat kuikatkan cinta di setiap helai tali sepatunya Seperti yang aku inginkan : mulai hari ini tubuhmu kutelusuri

Sepatu Pelacur

sebelum rebahkan badan dikecupnya ujung sepatu dengan ciuman paling nafsu supaya dalam taman tidur dia bisa berlari dan menangkap kupu kupu namun badai jejali telinganya dengan mimpi tentang letih yang berbunga di sepanjang badan hingga yang terdengar hanya suara di jelujur kasur " hidup ini terlalu sukar. terlalu sukar... " dengan sepatu berhias gambar kupu kupu dia redakan badai di taman mimpi sebab hidupnya terlalu sukar diceritakan

Sepatu Yang Terlambat Pulang

pada malam yang hampir pagi bintang bintang seakan luruh dalam dirinya dihitungnya dengan teliti butiran pasir yang mendekap erat sebagai rangkuman perjalanan pulang ketika pintu rumah terbuka nanti dia sudah punya alasan tepat " aku bukan lah bintang namun sebutir pasir yang selalu kalah oleh injakan sang waktu "

Lomba Menyanyi

setiap tahun sekali diadakan lomba menyanyi pesertanya bisa siapa saja sebab tak dicantumkan jenis kelamin dan batas usia kali ini Ibu ingin jadi peserta dipilihnya sebuah lagu wajib bernada dasar minor bertema cinta yang penuh kesedihan dia yakin sekali bisa jadi juara sebab liriknya sudah dihafalkan sejak dia menikahi Bapak yang tak kusangka Bapak juga ikut serta dia akan menyanyikan lagu perjuangan dengan irama kekerasan yang dilantunkannya setiap hari di rumah kami daripada dipaksa memilih jadi pendukung siapa aku putuskan untuk ikut juga bahkan dengan lagu ciptaan sendiri yang kukarang sewaktu menulis nama di daftar peserta judulnya : Keluarga Bahagia Yang Paling Kudamba Belum pernah dengar bukan?

Kereta yang pergi sendiri

alih-alih selalu dihina kereta yang dicap sering telat tak hadir di stasiun pemberangkatan maka gemparlah seluruh kota beribu-ribu orang terlambat pergi kerja, terlambat masuk sekolah, atau batal berbelanja maklum saja hanya kereta itu yang mau menampung manusia kelas ekonomi yang kulitnya kebal sengatan listrik, terpaan angin, dan segala jenis bau-bauan tajam segerombolan penjahat pun datang ke kantor polisi tak mau dituduh sabotase sarana transportasi kota harap dipahami bahwa di dalam gerbong-gerbong kereta mereka mengais rejeki Jawatan Kementerian Transportasi menurunkan para ahli melacak keberadaan kereta yang dianggap tidak tahu diri "lantaran dikatai sering telat saja sampai putus asa?" begitu lah Kepala Jawatan menilai aksi menghilangkan diri si kereta api di tempat persembunyiannya Dia bertemu dengan beberapa orang yang ingin cepat pulang sebab bertahun-tahun keluarganya telah menanti dan tak sepotong kabar pun diterima oleh mereka "Maukah kau mengantar kami pul...

Pinangan

dengan mahar kata kata kupinang halaman kosong membangun mahligai puisi

Terbang

: mega vristian Ada yang terkungkung di dalam horizon yang melengkung Sangkar itu begitu kuat serupa jerat erat merengkuh bulubulu rindu sayap ini tak kuasa kepakkan sajak Berapa banyak bagian peta yang terbuang lupakah dia hangatnya sarang? Hujan telah lama pergi tinggalkan pohon terakhir yang mengajar sebuah kata : terbang

Sajak Empat Musim

/musim semi/ Katamu manusia bukanlah bagian dari kerajaan binatang Jadi menurutmu untuk siapa istilah cinta monyet diciptakan? /musim panas/ Serangkai bunga edelweis takkan pernah pantas disandingkan dengan kuntum-kuntum mawar /musim gugur/ Dengan wajah penuh debu kulihat tulisan di belakang truk yang melaju "Kutunggu jandamu" /musim dingin/ Jika kau pergi liburan ke puncak gunung maka kuputuskan untuk jalan-jalan ke kebun binatang

Kisah Kemarau

Kemarau ingin pulang ke kampung halaman negeri yang selalu hujan saat dia menghilang diambilnya jatah cuti tahunan yang masih sisa berbulan-bulan Dipesannya tiket pesawat kelas eksekutif supaya bisa berbincang dengan penumpang bersuara petani yang kerap melancong ke luar negeri, demikian dia beralasan "Tak mengapa walau cuma sebentar", katanya malu-malu takut dianggap terlalu ingin tahu urusan orang lain Sebenarnya, dia ingin mengorek keterangan resmi sebagai upaya beroleh kebenaran dari kabar yang tersiar bahwa jika dia kerja lembur, para petani tak kan pernah hidup makmur Padahal tugas yang diembannya sangat jelas menjaga keseimbangan cuaca di negeri hujan bahkan untuk para petani, dia sudah berikan bonus berupa matinya jamur dan fungus Dalam hati dia sangat yakin jika para petani telah menghitung segala kemungkinan dengan pasti Toh, dia kerja bukan baru kemarin? Tapi penumpang yang ditunggu berkomentar tak pernah selesai berkelakar bahkan terus bercerita tentang negeri-neg...

Puisi yang tak pernah usai

Bapak tak pernah minta kepada matahari mengajarinya membuat api tapi dititipkannya di hati semangat yang menyala dan tak kunjung mati Ibu tak pernah minta kepada bumi mengajarinya untuk sediakan makanan diwariskan sebidang dada lapang untuk kami tanami kata Sebab hidup ini adalah ladang untuk puisi yang tak pernah usai Jakarta, November 2006

Saat Langit Menulis Sajak

/1/ Apakah kaupikir aku mampu menghitung setiap tetes gerimis sebelum hembusan nafas kekal di buramnya kaca jendela? Jika kau mau aku menunggu coba lukiskan meriahnya pelangi sebagai tirai sebelum kilat yang pertama membias di langit itu /2/ Di kaca jendela ini tak ingin lagi kudekap bayangan lembab yang begitu akrab Hingga kukira itu mendung saat langit menulis sajak : kau kira itu kah hujan? /3/ Jika di langit itu ada kuasa untuk menggurat jejak sang waktu Aku bersyukur pada bumi yang telah begitu tabah menghitung setiap jejak langkah Sebab katamu Ada yang telah ditahbiskan menjadi ruang penantian yang teramat panjang /4/ Saat langit membuka pintu kemarau kunikmati perjalanan ini dari debu ke debu Jika nanti hujan tiba di dinding yang basah kusandarkan segala lelah Jakarta, November 2006

Doa Ibu

" Renyah kerupuk itu?" Ibu tanya soal teman nasi yang kucicipi "Begitu lah", jawabku hambar Karena nasi di piring masih banyak kucomot sebuah kerupuk lagi dari kaleng bertuliskan "Doa Ibu"

Di Pelataran Gedung Pengadilan

"Hari ini kunjungan ditiadakan!" Petugas keamanan menutup pagar sisakan ruang antara jalan dan Gedung Pengadilan : sebuah pelataran kosong Seperti mata Bapak hadapi tuduhan saat pulang malam Ibu pernah bercerita tentang hakim berjubah longgar lengkap dengan toga yang diatur supaya tetap miring Seperti tungkai Ibu tertekuk lelah saat malam datang Bapak sering mengeluhkan derita pelaku kriminal diarak hanya dengan sebuah celana dalam Ah, baju seragam saja tak timbulkan iba petugas bahkan untuk sekedar bertanya Hari ini, tak bisa selesai tugas mengarang dari sekolah tentang isi Gedung Pengadilan

Lowongan

Pulang dari interview Bapak terlihat lesu Ibu pun bertanya ragu "Bagaimana hasilnya?" Bapak dengan tenang tersenyum "Selama masih ada lowongan di hati Ibu, kerja apapun akan dijalani"

Di Televisi

Di televisi Ibu melihat wajah Bapak sebentar lagi dia pulang demikian kabar yang tersiar Mungkin karena bosan hidupnya jadi tontonan Bapak ingin tenang satu-satunya jalan adalah pulang Di depan televisi Ibu menulis surat berisi alamat ditujukan untuk sebuah rumah produksi dengan harapan Bapak bisa dengar sebab hanya dari televisi mereka saling bertukar kabar

Mengantar Ibu

Berakrab dengan Bapak menjadi peristiwa langka yang hanya bisa terjadi jika Ibu hendak pergi Aku dan Bapak Rapatkan jarak setiap Ibu meniti tapak Berakrab dengan Bapak hal yang sangat dinanti tapi Ibu harus pergi meski cuma satu hari

Tidak Merokok Lagi

"Kita tidak lagi perlu asap" kata Ibu kepada Bapak memintanya untuk tidak merokok lagi

Jendela

Bapak menjadi bingkai kristalkan imaji Ibu di setiap butir kwarsa untuk mencipta cahaya di ruang hati Di jendela ada bayang termangu "Apakah itu milikku?"

Serambi

Serambi kami penuh lumpur kata Bapak asalnya dari arah timur tempat Ibu tengah menjemur kesedihan yang semakin menjamur

Pintu

Bapak selalu menunjuk keluar sebagai alasan untuk pulang malam "Di balik pintu ada banyak hiburan" Ibu hanya punya kunci yang terbuat dari kata setia tetapi Bapak sangat sering menjatuhkannya Setiap malam Bapak meminta Ibu membuka pintu Lebaran kemarin Kulihat mereka berpelukan tak ada lagi pintu itu

Kartu Pos

Sebuah kartu pos bergambar wajah Bapak merutuk di depan pintu "Biarkanlah aku masuk sudah lelah pintumu kuketuk" Ada bagian yang terlupa si pengirim tak tuliskan nama pada kotak di bagian alamat Rupanya Ibu sangat jeli hingga hatinya tetap terkunci

Batu di Sungai

: teguh setiawan pinang Batu itu menggurat kata supaya ada alir di sungai puisi Sedang di muara Ada yang lebih diam meredam bebunyian mengolah sajak di samudera raya

Igau di Rantau

: maulana ahmad Di rantau keasingan mengigau Lelaki itu melinting tembakau Asap melukis matahari tumbuh di tengah pematang asyik jelujurkan jemari di petak-petak dahi Di dangau kesepian pun kacau Dia bergegas menanam pukau

Bukan jalan untuk pulang

: Yohannes Sugianto Dia yang menyeruak tiba-tiba dalam rimbun rimba kata bermandi peluh mendekap keluh Yang bisa kubilang jejak di padang bukan jalan untuk pulang Di balik belukar terdengar dia berkelakar "Tak perlu tunggu fajar" Rimba ini kan tersibak kata-kata pun berbiak

Sajak di Liuk Nyiur

: hasan aspahani "Sedemikian dekatkah kata-kata dari laut?" di liuk nyiur aku tafakur tentang kedalaman yang tak terukur

Penyulam

: inez dikara Ada yang menyapa dari balik bilik "Aku temukan sesuatu yang asyik" Bak seorang penyulam dirangkai sulur-sulur benang diulurnya sampai awan "Lihat, itu sebuah pelangi!" Aku berteriak sendiri di bawah langit yang ikut menari

Doa Sajadah Usang

Ibu menggelar sajadah kalau Bapak marah Sajadah itu sudah usang Namun doanya tak lekang "Kapan nafsu dikekang?"

Besok Lebaran

"Hari ini masih terasa sempit ya?" Ibu bertanya pada Bapak yang begitu bimbang sehari sebelum lebaran

Makan Malam di atas Makam

Dengan sebatang lilin malam ini tertelan begitu sempurna Ibu menyusut anggur di bening kristal air mata Bapak sibuk mengiris hati selapis demi selapis Duka menjadi bunga penghias taplak meja Terbentang sajian lengkap di atas semua kenangan yang dipendam dalam-dalam

Sarapan Pagi

Bapak baru menyeduh emosi gelegaknya terasa di hati Lalu Ibu mendadar sabar bulat besar benar Sarapan pagi ini kurasa nikmat sekali

Kalung Ibu

"ini warisan paling berharga, untuk menjalani hidup" Tangan Ibu kalungkan seuntai kesabaran di hati kami

Sajak Dalam Kopi

Mungkin ini pahit yang terakhir kupungut sajak dalam kopi sebab Ibu tak pernah menyimpan gula dan gaji Bapak tak manis lagi

Letih

Batang padi tak lagi runduk, Ibu keringnya angin telah membawa mereka pergi ke pusat-pusat perbelanjaan lalu pulang dengan tentengan berisi hafalan nama-nama asing untuk petak sawah kita Ternak penghela bajak pun naik pesawat kacaukan asap kopi dan tembakau hingga Bapak tak puas lagi memandang ranumnya puting gunung yang kau simpulkan di sudut matamu, Ibu Dan kemarin hujan belum sempat kucatatkan di saku kodok yang kerap mengamen di jendela gubuk ini Sebab aku terlalu letih dan Kau terlalu tatih

Air Mata

debu yang mengganjal saat aku terpingkal

Selamat Jalan

Dan ombak bertubi-tubi merayu nyiur sang penari pantai. Camar tenggelamkan diri pada pencariaannya sendiri. Pasir pantai doakan keselamatan matahari. Langit senja sama merahnya ketika fajar. Anak gadis itu pergi ke pangkuan ibu. Bapak kembali dari medan perang berbentuk kotak berisi angka-angka berdebu. Kerikil-kerikil di halaman rumah basah. Kota masih mengaduk-aduk kesibukan. Lalu, ombak menyapa kota. Anak gadis itu pulang. Bapak tak pernah datang. Ibu menari di pantai. Sendirian. Tidak! Ada matahari dan langit fajar. Tapi mereka berperang di atas kerikil, kerikil jadi pasir. Pasir tuliskan angka. Angka sebutkan jumlah ikan dalam paruh camar. Daun teh dalam cangkir mengapung dalam diam

Ucapan Selamat Tinggal

Bagaimana ucapkan perpisahan? Paruh burung basah dengan nyanyian dahan berselimut embun dan berkas kata di kisi-kisi jendela tak kunjung berdebu. Di depan pintu, sepatu termangu

Ibu dan Bir

Ibu duduk dekat pintu di sebelah gelas tanpa isi Bapak tidak pulang lagi Ibu menuang bir dengan ragu Bagi bapak ibu dan bir sama memabukkan Tak heran bapak selalu lupa jalan rumah kami

Sapu Tangan Bapak

Sapu tangan bapak dalam saku ibu ada yang teriak bekas-bekas gincu

Sajak Yang Paling Tidak Laku

ini ada kata bisu bisa laku?

Nyanyian Cinta

gemetar di leher gitar tak kuasa memetik kata yang akan guncang ragu di dawai-dawai hatimu

Pagi ini mendung

di atas meja setumpuk surat terluka di beranda lantai meredam duka angin berhembus perlahan saja aku mengeja kalam di langit kelam

Rajah Malam

Bulan tuliskan kalam di titik - titik semu Jendela bingkai malam di kisi - kisi bisu Dinding kamar kusam coba tenggelamkan rindu Di padang rumput liar jiwa meronta kuat Biarkan tubuh dilukar inginkan lambang tersemat Malam merajah meruapkan gelisah

Dia yang menanam bayang-bayang

Dia yang menanam bayang-bayang telah pergi di rembang malam Ada janji tertulis pada hati teriris Terbaring di ladang kering kenangan hitam bersemi Panen terlambat datang ruang kamar terpejam

Langgam Langgar

" Sebulan ini, kerja keras kami kejar" demikian langgam yang terdengar dari suatu langgar Catatan kecil ditukar tajil beredar ba'da ashar penutup perut-perut lapar menjadi upacara besar Dan saat malam tiba pun masih ditabuh puluhan nada tuk dihimpun seribu bulan lamanya Di dini hari pun ada yang berlari beradu cepat dengan matahari tak ubahnya niat Dewi Sumbi hindari niat anaknya sendiri "Sebulan ini, kerja keras kami kejar karena dalam 999 bulan ke depan kami akan asing terdengar"

Hati dalam Peti

Ada hati dalam peti kupegang masih basah warnanya tak hitam juga tak merah "Siapa tinggalkan dia di sini ibu yang ingin aborsi atau bapak yang mau korupsi?" Biarlah kan kubawa pulang sebagai cadangan jika hatiku pun hilang

Di Warung Made Jiwaku Tergadai

Di warung Made jiwa telah tergadai sebab cinta tak lagi memadai Lukisan Sang Rama yang sesali Shinta merayu Rahwana beraroma vodka "Kita menyanyi bersama, lagu permainan sepakbola" Para denawa berseru dalam irama tanpa malu Ada yang diam dalam lukisan di sudut yang temaram nikmati kosong sisa nirwana

Ke Besakih, Kekasih

Ke Besakih, Kekasih katamu pintaku menepi 'tuk susutkan sungai di pipi Di Besakih, Kekasih karang yang tinggi tak lekang digempur perbani Sebab di Besakih, Kekasih berdiri amsal hati yang bersih dimana air mata pun tersapih

Dongeng Bukit Kintamani

Sebuah bukit berselimut kabut memungut rasa sakit Bidadari yang diam di sini diculik Sang Kala malam tadi Bukit Kintamani ajak aku habiskan hari tuk mencari Sang Bidadari

Sepanjang Pantai Kuta - Legian

Deret-deret cafe lukiskan malam memacu keringat di tiap dentam Irama reggae luruh dalam gelas sisakan bulan di sudut bias Botol-botol kosong dilanda haus "Pantai ini telah tercerabut dari firdaus!" Sepanjang pantai Kuta-Legian tetapak kaki terhapus perlahan

Dan Jodoh...

pintu ingin terbuka kala birahi anak kunci lepas dari saku celana jodoh serupa genggaman tangan menyatu dengan tuas pintu bergerak dengan nyaman dengan kaki kanan kita 'kan melangkah bukan ke pelaminan apa lagi cuma peraduan sudah jauh hati kita tanam dekat pokok buah terlarang di taman itu sebelum ada pintu

Sajak Stasiun

/1/ Di stasiun kereta rindu terjalin rangkaian mimpi penarik nafas jiwa resah jauh sebelum sebuah perjalanan yang tak pernah diam selalu saja begitu /2/ Rindu dan mimpi terangkai jadi cerita di tiap gerbong kehidupan Pada akhir perjalanan semua disapukan di kening malam Di atas selembar koran Kita mulai mencari dimana kata yang tak pernah tetap selalu saja hinggap di tiap dekap /3/ Di sini, tumpukan resah selalu lambaikan tangan pada jiwa kembara Ada harap yang penuh pada satu arah tatap saat kereta memasuki stasiun "Diakah yang dinanti?"

Sajak Peluit

Dan terdengar lah lengkingan penyeru di tengah kebisingan "Kita harus bersiap senantiasa" Seperti Yesus di Getsemani memohon di tengah sepi "maut adalah pencuri" Dari peluit yang menjerit alunan nada menyapa kita "Tuhan tidak buta"

Tuhan hilang

Daun jatuh dari pohon tepat di hidung anjing hitam "Tuhan hilang!" demikian dia menggeram

Hujan Malam

Malam hitam Hujan datang Hati bimbang

Kontra Kontrasepsi

Keluhmu tertahan di bibir malam Ada hasrat yang tidak bisa bergerak Katamu dengan suara serak Sebentar lagi semua sedu akan tenggelam Siapa yang telah menghalangi dengan sayap penuh nafsu dan membiarkan cinta mati sebelum terbentuk rindu Di sini ada yang terkulai Ceceran hasrat pekat Yang tak pernah sampai Di kedalaman cinta yang kelat

Cinta Anggur

dua gelas beradu bibir melukar sendu dengan derai tanpa akhir manis sudah persetubuhan setiap lekuk rindu mengerjap di langit tanpa bulan tetesannya meresap di celah-celah batu di puncak bukit cinta telah dipingit menepi dari deru bermula dari anggur itu

Bulan di sudut sunyi

Malam menjadi tirai antara pagi pembasuh hati ciptakan sunyi dari tawa yang berderai Senyum siapa yang mampu menembus dinding beku hingga hati merindu ingin memeluk dirimu Di sudut sunyi ruang tanpa asa Bulan tersipu iri pada siapa kita tertawa

Tentang Gita dan cita-cita

Bidadari itu memintaku terbang melintasi bintang gemintang dan bercahaya selalu Ada keluh terpasang di buku tangan terkembang tak ada sayap yang tumbuh tak juga bulu yang utuh Pada belaiannya bersimpuh rapuh "aku ingin jadi anak rambutmu"

Hari Keberangkatan

Bergegas mengemas mimpi sebelum menelepon taksi ada tanya yang menepi "apa yang akan terjadi?" Ratusan kenangan menyelam bagai ikan dalam lautan bayang-bayang berkeriapan sepanjang perjalanan "Inikah rindu itu?" ada malu yang terpalu berdentam bertalu Ada kata dalam hati "aku harus pergi" sebelum semua mimpi tak berarti esok nanti

Sajak Peron

Barisan bangku tidak teratur melontarkan kata yang jujur "Siapa yang bisa tidur?" Sebentar lagi peluit terdengar layaknya sebuah kabar Di sini hanya persinggahan tak ada yang bisa kita rebahkan tak juga kantong mimpi bahkan bunga akan mati Di antara deru yang berseru kita kemas hati buru-buru Gerbong-gerbong telah terbuka meminta paksa tubuh dan jiwa untuk perjalanan penuh makna Dari barisan bangku peron ini kita mengantri untuk pergi

Sajadah

"kapan doa sampai pada alamatnya?" terlipat rapi sebuah tanya terbalut bau wangi di dalam almari walau selembar walau sebentar sujud 'kan kubenamkan pada sutera penuh kelembutan

Bidadari dalam Palung

Palung waktu ciptakan pusarannya sendiri Aku terseret di tepinya Lalu senja pun mengerung "Setan mana yang pantas aku kutuk?" Aku diam. Hari pun telanjur malam Bidadari dalam palung ajak aku pulang "Setan!" keluhnya kudengar saat sampai di kamar

Sajak Asap

Aku pegang dada menahan kata tanya " Api sembunyi di mana?"

Sajak Api

Sebuah kata tersulut di bibir kayu, merayu Api pun membara dalam rindu, tanpa ragu tuntas lah janji api pada kayu Kayu tunduk, hukum alam dipeluk kala cinta diukir sebagai unggun gemunung angan pun ditimbun Pada sulut pertama kali Api telanjur birahi kayu pasrah menanti arti

Sajak Belukar

/1/ Api telah meninggi berderak lah bunyi bara tak mau pergi Sejak semak disulut tanganku memegang lutut hampir sujud /2/ Pokok kayu menghitam layu api meredam laju Belukar musnah jadi abu dan debu tanah aku, ladang yang punah

Sajak Pelangi

Sebab cinta telah lama menghablur di balik jendela kucumbu angin yang membeku kepadanya, aku pun bertanya "Untuk siapakah diuntai sejuta warna dalam genggaman tanganmu?" Gerimis telah lama berlalu tinggal lah sebuah nyanyian penghapus jejak-jejak di taman terbilang dalam waktu "aku telah memajang rindu sebagai hiasan di atas kemaluanmu" Jawabnya ketika mengurai merah, kuning, biru, dan kelabu tepat di depan kedua mataku

Sajak Di Depan Cermin

wajah di depan cermin manyun di pelupuknya ada tangis kaca cermin berembun sebuah buku dibaca tak habis

Sajak Jendela

"Jerit siapa tertahan di batas malam?" Ada jendela tak berdaun terayun bayu Bulan coba jejalkan sinar pada kisi-kisinya Sekedar menyapa kesedihan yang ada Awan sungguh berbaik hati ditutupkan tangan pada mulut bulan yang menganga tersebab terkejut melihat air mata Lalu hujan terpanggil turun Mengulurkan cairan penghapus tangisan disapu pula jejak-jejak kesedihan Di batas malam Jendela tergumam Ada sedih yang belum habis ditelan

Lelaki yang menanti

Tergumam sejumlah kata yang dipahat pada sebuah nisan tua "Di sini telah dibaringkan segala keinginan yang tersisa dari ratusan angan di kepala" Lelaki itu kemudian diam seluruh bunyi pun diredam seperti sebuah penantian yang luruh dalam pusaran jaman Lelaki itu sedang menanti Bunyi apa lagi hendak dilantunkan Dikeluarkan patahan tulang lalu dipukul pelan "Diam lah yang sudah diam, jangan pernah bicara dendam"

Sajak Kapal Karam

/1/ Kapalku telah karam mata ini pun kupejam biar tak ada laut dan pantai terbaca jelas oleh badai /2/ Tak ke pantai dia menepi adalah karang yang dihampiri lalu rebah dia di tiap sisi punah sudah rindu di hati /3/ Kapal karam memendam rindu suara ibu yang merayu-rayu dermaga sebenar sandaran kalbu hanya tergambar dalam desir bayu

Sajak Kamar Mandi

Dinding keramik yang dingin demikian pula dengan lantai yang diam gemericik air yang ingin sesegera mungkin aku siram "Akan kupeluk dalam basah, biar luruh semua gelisah, dan panashati pun musnah" Segera kubuka diri Telanjang seperti bayi Mungkinkah kulihat bayang Tuhan dalam genang air yang tertahan?

Sajak Saputangan

Sebuah siang terlipat rapi di sudut saku celana ini "Isak siapa tergolek bersamanya?" Yang kutahu, ada keringat yang disapu Merata di tiap serat seakan hidup ini tidaklah sarat "Semua 'kan baik kembali di dalam sebuah mesin cuci esok nanti" Lalu isak tadi sibuk kembali merajut selembar mimpi

Di Sudut Kamar

Lampu temaram, hampir-hampir tak ada sinar. ada isak yang diredam, pada langit-langit dan dinding kamar.

Sajak Pedati

Gelisah telah lama berima di rusuk - rusuk roda pedati "Hidup ini berputar senantiasa" Pijakan membekas seperti urat sungai dengan darahnya Setiap lekuk membungkus deru dari anak-anak peluh "O, Jawi penarik hidup kepadamu lah kuserah arah?" tersebab hatiku terlalu gelap untuk mengartikan sarat Seuntai demi seuntai biji-biji lempung digerus lenguh dengan buncahan liur Satu tarikan nafas beranak ratusan rangka yang tertanam di pangkal helaan Ada satu pertanyaan yang tersisa kupetikkan dalam irama cambuk di udara "Adakah bagian peta yang terbuang, hingga kita lupa jalan pulang?" Di sisi yang salah langit telah berkendit jingga Tersisa lah seutas terang pada punggung lintasan (kolaborasi pakcik_ahmad dan dedy_tri_r)

Sajak Peri Embun

Sebelum beduk subuh ditabuh kutelisik tunas kamboja yang tumbuh sebab tepat pada pukulan ke sepuluh Peri Embun menitipkan keluh di tiap helai daun Olehnya satu per satu embun itu diberi marka dengan segala rupa rasa di dada selayaknya dia sedang bercerita Kulacak jejak pada titik embun pagi yang terekam sebagai mantera cerita sedih Ibu Sebab Bapak pernah berkata Ibu terlalu sering menangis di pucuk-pucuk kamboja

Ghazal Udara

Bersembunyilah dekap udara ; menghilang dari sepasang payudara sementara duka terikat erat oleh pengap udara Duhai ibu yang remajanya usai dituai dalam endap nestapa Beracaralah pada isak kami yang hanya bisa ditangkap udara Sebab belum lama kami merapal mantera ratap atmaja Engkau telah meniti lembah pelangi di balik tingkap udara Dan yang tersembul sebagai kenangan dalam tatap menyala menuntun Perindu ini temukan lagi gairah dekap udara

Ghazal Cahaya Cinta

Kekasihku telah mencari cahaya pendaki senja Kukirimkan pelangi sebagai ganti jemari cahaya Hingga gelisahnya tertangkup degup berahi jiwa walau siapakah sebenarnya yang menanti cahaya Sebab hatiku pun meringkuk dalam terali cinta tak sanggup hingga kurasa perlu ditemani cahaya Cinta sejurus kemudian hanya menjadi rasa Pun Si Perindu terjerat oleh temali cahaya

Toko Sepatu

Adalah kaki yang telanjang menghiba sepanjang bayang Maka ditempuhlah suatu perjalanan demi suatu keinginan Toko sepatu jadi tujuan mula tersebab pada onak dan batu tajam, kaki terluka "Dapatkah kau temukan jodohku?" Ada kata yang tertulis di kaca jendela sebuah tanya yang cedera Ada banyak tubuh mengajak berkelana namun yang kupunya hanya sepasang kaki yang terbuka dan terluka Aku terpaku Kakiku kelu tersergap pagu yang baku; ukuran kaki, model sepatu, bahan kulit atau beludru? Di balik pintu yang tadi kubuka terkuak pula sebuah rahasia "Telitilah sebelum berbelanja" Lalu kupikir kakiku hanya perlu sepasang sepatu yang lebih keras dari batu