Posts

Showing posts from 2013

Anggur

Kau petik juga bulir buah yang cantik Yang pada hijau kulitnya, matahari kehilangan pukau, dan langit seolah mendekat dan terjangkau Buah yang segar berair manis, getar di dahagamu yang tragis. Lalu di dadamu, di igamu yang kelam, kesepian jadi jemu, jadi lengkap sebuah lebam. Luka rindu Kau bayangkan serupa sulur panjang Yang di tubuhnya daun rimbun, lintuh embun. Seolah jawaban dari doa pelan-pelan turun Sulur yang merangkai bulir, menyangkali takdir, agar buah yang ranum kekal tak terpetik. Dan jemarimu seperti dendam yang menari-nari, di antara hela napas, dari dan ke dalam dadamu, ke sela igamu, "Bersabar. Bersabarlah." Bertabah seumpama bebulir buah yang menggantung. 2013

Untuk Negeriku

Jauh sebelum pohon-pohon itu menyerukan namamu, aku tak ada di situ Juga ketika daun-daunnya menguning dan gugur, atau embun jatuh seperti tangisanmu, aku tak ada di situ. Hanya saat hujan, saat angin jadi gelap dan dingin, diam-diam doaku mengalir di ujung akar-akar yang jauh. 2013

Perkiraan Tentang Setia

: Ahasyweros Katamu, kita telah dikutuk untuk menggelandang, sampai remuk bentuk lalu menghilang. Tapi, hidup tak semata menerka dan memperkatakan perkara-perkara, mencari kesimpulan sementara, atau mengundi kemungkinan yang terjadi nanti. Aku bersikukuh bahwa apa yang kubawa dalam doa dan puasa adalah hal sederhana, semacam perkiraan tentang bersetia pada hidup sebenarnya. Hidup yang membentuk kita utuh dan berbilang, meski hanya di ceruk atau palung paling dalam. 2013

Seri Penulis : Guntur Alam "Hidup seperti sebuah Permainan Menuju Titik Akhir"

Bagaimana cara Anda memandang hidup Anda saat ini? Saya sendiri tidak tahu bagaimana saya memandang hidup saya ini. Saya menjalaninya saja, saya sedikit ambisius tetapi juga pasrah pada hasil. Selayaknya game kali ya. Selalu ada rintangan dan saya harus bersiap dengan taktik dan trik. Tapi pada titik-titik tertentu, saya mengikuti saja iramanya. Seperti terjebak di pasir isap, jika berusaha sekuat mungkin, kita justru semakin diisap, jadi saya akan diam, dan bila waktunya sudah pas, saya akan memulai. Intinya saya seseorang yang menganggap hidup adalah sebuah perjalanan (game) menuju titik akhir. Sepanjang jalan, akan ada rintangan dan saya harus bersiap jika ingin sampai ke titik akhir dengan predikat pemenang. Jawaban saya makin ngawur. Sejauh mana Anda memandang cinta dalam hidup Anda? Cinta? Haruskah saya menjawab pertanyaan ini. Cinta itu terlalu luas dan saya tak tahu harus memandang pada titik mana saja. Oh, Tuhan.... Saya selalu terjebak dan mendadak bodo

Seri Penulis : Tranformasi Cinta Ilham Q Moehiddin dalam Hidup

Bagaimana cara Anda memandang hidup Anda saat ini? Dinamis. Hidup saya dinamis. Saya telah melewati beberapa kesukaran hidup dan sedang bersiap menghadapi kesukaran hidup lainnya jika ia datang. Saya percaya bahwa kita tak bisa hidup sendiri. Selalu ada orang lain, atau cara lain/berbeda yang bisa sangat memengaruhi sehingga kita bisa menghargai hidup. Seringkali, saya memandang hidup secara dimensional, berusaha mengerti seperti apa sekat sosial yang masih berlaku di tengah masyarakat kita, lalu saya gunakan sebagai penyeimbang. Saya menyenangi perkawanan, memelihara persahabatan saya dengan beberapa orang dari masa kecil, dan dengan sebagian besar yang saya kenal di pergaulan sehari-hari. Saya selalu menganggap semua orang itu baik, yang dengan anggapan itu menjadi pintu bagi saya untuk mendekati mereka. Bagaimana pun saya perlu memelajari karakter setiap orang (apa yang ia tak sukai dan apa yang ia sukai, pandangannya, pilihannya dan seperti apa mereka menggunakan

Seri Penulis : Pandangan Kurnia Effendi Tentang Hidup, Cinta dan Karya

Bagaimana cara Anda memandang hidup Anda saat ini? Hidup ini anugerah, jadi mesti disyukuri. Meskipun secara kualitas jauh dari memadai, saya selalu berpikir bahwa Tuhan Maha Kasih dan terlalu sayang kepada saya. Hidup ini seperti air, jadi mengalir saja. Saya tidak ingin berlama-lama memikirkan problematic hidup yang kemudian memunculkan problem baru. Jadi dihadapi, dihayati, dan dinikmati. Hidup ini blue print Tuhan, jadi sekalipun memercayai bahwa usaha memungkinkan mengubah takdir, setiap hal yang saya terima dari hidup saya anggap sebagai ketentuan dari kasih-sayang-Nya Sejauh mana Anda memandang cinta dalam hidup Anda? Cinta itu warisan Tuhan yang ditiupkan kepada setiap insan, jadi merupakan fitrah manusia. Saya berusaha mencintai orang lain tanpa pamrih, namun selalu ada hasrat manusiawi yang menyertainya, sehingga menyimpulkan sendiri bahwa cinta pada dasarnya keberpihakan saya pada keindahan. Cinta tidak habis dibagi, sehingga saya tidak pernah membat

Ciuman

Bagai bunga es mencair di awal musim semi, ada yang meleleh melihat kita berjumpa kata. Tak ada yang pulang atau berpaling dari baris-baris sepi yang begitu tipis menyayat hati selain ciuman yang berulang. Kau kecupi nyeri, aku melumat makna mati. Kita disakiti sekat-sekat kata, dan bahasa membuaskan kita sesudah susah kita keluar dari sana. Dari dirimu dan diriku sendiri. Bagai daun yang bergoyang terkena angin musim yang dingin, ada yang begitu hebat berkebat setelah kata tak bisa lagi diucapkan. Tapi lidah kita berdecap. Seolah telah habis hal yang manis, telah tandas apa yang pantas kutuliskan dan kaubacakan lagi. Ayat-ayat yang dahsyat membebat pikiran dan perasaan kita. Getar bibir dan debar dada yang melahirkan kita ke dunia nyata. Dunia tak sempurna milikku dan harapan yang hampir purna darimu. 2013

Sebelas

Aku telah melihat yang retak. Aku juga telah menyaksikan yang purba. Waktu jadi samudra. Aku pelaut, berlayar di tengah kalut. Ikan-ikan gergasi bergigi tajam semacam kenangan yang diam-diam ingin menghabisi. Di punggungku, kota cita-cita. Ekor dan leherku menjulur pada cakrawala yang membujur. Kau, sekumpulan awan. Arah perjalanan yang ditimbulkan di atas penderitaan. Yang tubuhnya begitu utuh menyimpan hal-hal yang kuanggap abadi. Yang belum pernah aku alami. 2013

Sepuluh

Sepuluh Jika hidup adalah gelombang besar, akankah kau memilih berjaga di dermaga? Seperti dia, aku pun tak hendak dirayu Sebab mengucap seolah mengembus busa sabun yang mudah pecah di udara. Lebih baik jadi bintang laut Dia mati ketika laut surut saja. Aku tak mau mati sebagai ikan, lihatlah seekor kucing kuning menunggu. Tak juga aku hendak mematut diri dengan pakaian penari. Tapi aku akan bergembira seperti jarum jam di atas kamar mandi Dia tak menghitung berapa lama kau di dalam sana, dia hanya mencari makna atas angka-angka yang seperti umur bayi beranjak remaja. Jika hidup adalah gelombang besar, bangunkan aku segera. Jauhkan aku dari jendela. Bawalah ke luasan padang. Ke luasan kata-kata yang dihidang dari lautan dan ikan-ikan. 2013

Dua

Jangan kira aku berputus asa Kapal besar ini tak mungkin menjauh dari rengkuh gemawan badai itu. Masih tegak benteng dan dinding kota Tak ada yang retak atau mulai renta. Sedikit berkelit, jangan dipikir aku tak mau bertemu yang sulit. Hanya mencari cerah matahari, menemu lembah dan pohonan untuk tetirah. Pantang bagi pelaut berlayar ke laut surut Bagi penjaga tembok kota, setiap hari adalah berjaga. Jika gemawan dan kabut bergulung jadi badai, sangkakala kutiup agar seluruh kata bersiaga dan kau selamat di dalamnya. 2013

Satu

Pikiranku, kota tua hampir ambruk. Masa silam sebuah peluru. Lubang menganga yang nyaris tak ada, hanya ladang-ladang subur dan sungai dengan air beralur. Peristiwa-peristiwa seperti bendera di atas menara. Berkibar senantiasa. Hanya dengan mata terpejam, dinding batu yang dingin dan diam, aku bisa merasa tenang, meski angin menyapu awan dan menyisakan garis tipis bulan. Jikalau aku risau, hanya karena engkau. Pejalan yang tak sudi menjenguk. Kebisuan puncak menara di tengah luasan ladang. Mungkin kau takut berita perang. Mungkin juga kau tak sudi mendaki dingin dinding batu. Mungkin juga kau tak datang, karena sibuk menjadi petani. Memilih benih, mendugal ladang, mengalirkan air sungai, dan menunggu buah-buahan matang. Puisi bagi duniamu sendiri. 2013

Tujuh

Bendungan itu retak sudah Apa yang kurenung seolah cuma rumah kecil Lemah dan terpencil. Dan kesepian, ladang-ladang mungil, dikepung air. Ikan dan ubur-ubur adalah kenangan terkubur yang susah diusir. Bendungan itu retak, tapi tak ada banjir. Apa yang kupikir, sungai-sungai di padang pasir. Dan kesendirian, langit tak bertepi di sebuah panorama yang muskil. Dia tetap sangkil, seperti sebuah rumah mengambang di atas air. Pikiran dan perasaan penyair. 2013

Sepasang Patung

Kau boleh menyesal pada kata-kata yang gagal dalam sajak ini. Batu gompal bahan sepasang patung. Mereka berhadapan, seolah menyoal letusan gunung, atau petir sambung menyambung. Seperti kita berbincang tentang burung, juga hal yang mengipasi sebuah hubungan jadi dingin. Dan kita dicekam diam, meski berdiri berhadapan. Kau boleh menggugat kata-kata yang berloncatan dalam sajak ini. Batu dan lava dari letusan gunung. Kita sepasang patung dalam sajak ini, jika ada petir menyambar atau tahi burung jatuh, mana boleh kita merasa menyesal sepanjang kita berdiri berhadapan. 2013

Vertigo

Kau, para penari, berdiri dalam kebimbangan seutas tali. Gajah-gajah itu, seperti aku. Beradu ekor dengan belalai-belalainya memegang seutas tali, di tengah sungai. Pikiran dan perasaan adalah sekawanan gajah yang menyeberang. Bagaimana aku berpikir tentang keseimbangan? Hanya sekumpulan awan. Berupaya mengatasi imaji tentang para penari yang meniti seutas tali di tengah sungai yang dipegang belalai. Bisa juga tenang sungai yang menahan riaknya, pada sirkus di alam terbuka. 2013

Tetirah dalam Tiga Batang Paku di Dinding

Setelah membayangkan mengarung padang alang-alang, seekor capung mengambil waktu berhenti di paku pertama. Sayapnya terbentang seperti tengah berkata, "Aku tak ingin kau ganggu meski di bawah paku ke dua, bahumu lanjang dan matamu yang pejam kau tumpu pada sepasang lengan. Seolah baru datang kekasih dan belum sempat melepas sepatu." Dia juga seolah menantang pada kelinci di bawah paku ke tiga, "Kau tahu arti lucu? Dunia yang dipaksa tenang berhenti dari kejaran waktu!" Dunia yang tumbuh dari bayang-bayang penari yang tertidur itu. Dunia yang dibesarkan lidah panjang cicak berwarna abu-abu, yang hendak menerkamku. Sementara di meja sebidang, kau - kelinci belang - menatapku seolah aku ini pembawa kabar dari padang. Kabar yang ditunggu-tunggu, oleh penari yang tertidur tenang, dan akan menggerakkan telinga panjangmu hingga dia bangun dengan dada terguncang-guncang. 2013

Sedikit Menjauh dari Riuh

Aku tak akan malu-malu (semisal mengintip dari antara dua batang pohon cemara) tapi tak juga akan bergaya (membentang lengan, menekuk tungkai, pura-pura hendak menari) ketika keriuhan itu dimulai. Bagiku, menyandarkan punggung ke batang pohon, menyimpan lengan di balik punggung, memasang tampang bingung, lebih baik daripada menerus murung. Biarkan saja musik mengalun, kaki-kaki menghentak (kadang seolah saling menyepak), menyentak di selingkung telaga (kau tahu, di sana ada gunung, gerumbul pepohonan hijau tua- hijau muda, tanah coklat dengan bayang-bayang orang lalu lalang, dan air danau yang beriak pelan seperti dengkur pemabuk pada gelas ke lima). Aku tak akan malu-malu menyatakan (meski bicara lirih soal topi yang lucu, baju kedodoran, dan kumis yang bersambung jambang) betapa keliru menyatukan bunyi getar senar sitar dengan gitar, dan kegaduhan yang ditimbulkan para penari yang berdiri dan diam. Karena dengan sedikit menjauh dari riuh, aku mende

Satire dalam Dua Puluh Lima Gram Ceri Asam

Mungkin bosan mandi air garam, seekor camar membawa dua buah ceri di paruhnya. Mungkin terkejut atau heran, terbanglah tiga ekor kolibri di dekat mata. Mungkin cuma sampai enam, di atas selembar tisu, tangkai dan biji ceri dilekatkan. Memilih baju kuning tua, dengan pita merah di dada, duduk miring tak menghadap meja. Memikirkan bakal seperti apa bunga di jambangan, sementara tak penuh airnya. Dua puluh lima gram ceri asam, disebar begitu saja, di atas meja. Dunia - setidaknya dua jenis burung dan satu jenis tanaman, dan kau yang begitu belia - dirangkum dalam sebuah renung: dongeng apa yang bisa dimulakan dari laut dan berakhir pada sebuah kamar berwarna biru terung. 2013

Di Sungai Itu

: Ahmad Yulden Erwin Di sungai itu, mereka tidak mencari. Hanya berziarah sambil mengingat musim panen padi. Di sungai itu, mereka merasa sepi. Seperti habis kehilangan pematang di waktu pagi. Seolah ragu untuk berenang atau tenggelam, mereka dibasahkan rindu bahasa ikan. Dan angin lebih dulu menyentuh selembar daun waru, sebelum hijau senyum disebar pada sayap seekor burung, pada sebongkah batu. Mereka mengira di muara, di suatu senja ada yang terasa asin dan bercahaya. Di sungai itu, mereka menunggu berita yang dihanyutkan bangkai pemburu. Berita yang terdengar seperti metafora dari rasa kehilangan yang berarus dari dada. 2013

Menghadiri Misa

Tuhan, cepatlah masuk dan duduk di sebelahku. Sebentar lagi, pendeta akan berkotbah tentang kebaikanMu. 2013

Kalau Aku Menulis Sajak Tentang Ular

1/ Kalau aku menulis sajak tentang ular, jangan sekali pun kau berpikir - aku ingin jadi pendekar. Aku hanya ingin tidur melingkar, menekuk lututku sedekat dada, dan biar mimpi menelan seluruh pikiran liar dan membenamkannya sampai ke dasar sesuatu yang kau sebut naar di mana sampai hangus dan lebur dia dibakar. 2/ Konon ada sebuah pohon besar di tengah taman, di sana ular itu tidur dengan nyaman. Dia bermimpi sepasang insan datang dan meminta saran tentang kehidupan. Dia hanya mendesis pelan. Si perempuan ingin makan, Si lelaki itu sedang kasmaran. Ketika ditunjuk buah di dahan, Si lelaki segera mengambilkan. Ular itu terbangun karena suara gesekan, dia merasa terlambat mengingatkan. 3/ Kalau aku ingin menulis sajak tentang ular, baiknya kau bacakan lagi kisah orang Tatar. Di mana diramalkan seratus tahun tidur melingkar, seekor ular bisa tumbuh sangat besar. Dan di Bilär, orang-orang Bulgar ingin membunuh seekor ular besar. Tapi Tuhan begit

Perasaan-Perasaan dalam Hujan

Betapa tabah awan menimbun duka laut, danau, dan sungai di tambun tubuhnya, sebelum angin begitu perkasa memaksanya turun sebagai hujan. Betapa gelisah langit menyaksikan tubuh awan dipecah jadi butiran hujan, hingga dijanjikannya terbit pelangi, nanti jika hujan reda. Betapa kuatir petir hingga dipukulnya udara yang dingin dan basah, dan berkilat-kilatlah dia. Dan betapa cemasnya yang menyeberangi hujan, menyangka kilat akan menyatakan nyala matanya yang habis menangis, dan hujan tak juga menghapus jejak tangis di kedua pipinya. Sampai-sampai, dia tak mau memandang kepadaku, yang dari tadi dilanda ragu untuk mengembangkan payung. 2013

Tentang Ketenangan

Ketenangan, bukan peregangan, Sayang. Bukan benang yang diikat di ekor hewan, dan ditarik ke udara oleh burung finca. Ketenangan, bukan permainan kotak dan warna. Seakan perjalanan yang teramat lamban dari sebidang ubin ke lainnya, menurut perhitungan kawanan siput. Ketenangan, bukan juga upaya mengupas betapa keras cangkang armadillo, atau hanya duduk mencakung menunggu engkau. Ketenangan itu seperti jarak pandang dua orang balerina dalam sebuah ruang dansa. Seseorang melakukan peregangan, dan seseorang melihatnya begitu saja. Seolah ada yang mereka tunggu untuk masuk, dan mengajak berdansa dengan iringan orkestra Rusia, semisal Baba Yaga. 2013

Dalam Pertemuan Kita

Dalam pertemuan kita, waktu seperti seekor tikus pemabuk Mengira sepotong bulan di langit adalah keju berbau sengit Kita, kucing buta. Betah memainkan gulungan benang. Percakapan seolah tak berujung.   Dalam pertemuan kita, dibelukar beragam rahasia cuaca. Mendung yang menggantung, badai yang bergulung, menetes dalam segelas teh hangat yang nyaris tandas. Pikiran kita, gedung menjulang. Mengira langit dapat ditembus, dan pada jendelanya, bulan tampak begitu kurus.   2013

Nona N

Hujan dan sedikit cahaya matahari yang seperti acuh itu masih memainkan lagu. Kau mendengarnya sebagai desau, aku mengira engkau. Cinta serupa jendela, katamu, setiap perpisahan tak pernah seinci debu. Aku kuntum malu. Mekar merah dadu. Hujan dan sedikit matahari yang seperti acuh itu menggoyangkan tangkaiku. Memudarkan warnaku. Barangkali, kau menganggapnya - kacau. Aku tak mencari penyebabnya, walau hujan dan sedikit cahaya matahari yang seperti acuh itu masih memainkan lagu. 2013

Kadal

Gelap lengkap. Tombak disandarkan ke palang kayu itu. Tak ada lagi petarung. Di gelanggang, tinggal sepi. Seekor kadal masuk ke air. Di mulutnya, sayap lalat ditelan semua. Bagaimana bisa memadamkan dendam? Seseorang entah berkata, entah mengerang. Luka masih basah. Di tanah, ada darah. Menetes dari sepi. Menetas jadi api. Tapi gelap lebih dulu menyekapnya. Sebelum tombak siap diayun kembali, sebelum para petarung turun ke gelanggang. Seekor kadal sembunyi. Di mulutnya, pertarungan sudah lama selesai. Tak ada lagi dendam, hanya lidah menjulur pelan. Seperti mencibiri matahari. 2013

Obrolan di Kedai Pangkas Rambut

Siang seperti langkah seekor kucing dengan bangkai ikan di mulutnya. Sedangkan menunggu giliran lebih mirip seekor burung bangau yang menyesal. Menyesal? Apakah itu perasaan seseorang yang duduk dekat jendela? Bisa juga sama seperti seekor anjing yang habis melahirkan dengan puting-puting susu yang tampak membesar. Dia kehilangan anak-anaknya? Setiap kehilangan atau kerinduan bisa dinyanyikan dengan gembira. Semisal oleh sekumpulan mariachi. Kau tak akan tahu apa yang disembunyikan dalam topi sombreronya. Siapa butuh topi saat kita akan bercukur? Yang tepat, selama menunggu, kita perlu barista penyeduh kopi. Tapi, hati-hatilah. Mungkin di cangkir itu akan kautemukan bulu-bulu kucing. Terakhir kali kulihat, dia berada di atas papan nama kedai ini. Tapi yang kubaca itu seperti coretan di dinding. Aneka kata bahasa asing. Yunani, Jepang, dan Inggris. Cara membacanya lebih tepat jika digambarkan dengan dengung lalat di dekat lampu. Sayap lalat itu

Merpati

1/ Remah roti di paruhmu, pada siapa akan kaubagi? 2/ Dulu, seorang memecah roti dan berkata, ”Inilah tubuhku. Jadikanlah peringatan akan aku.” Tapi di piazza Santo Markus, aku malah teringat sederetan merpati   dalam lukisan Ilya Zomb. Yang memegang benang dengan paruh, dan sebuah pir di ujungnya. Padahal, gadis itu seperti tertidur seperti tak henti menekur perkara tragis dalam hidup dan semenit tadi berkata, ”Biarlah. Aku tak akan lagi menangis.” 3/ Lalu langit redup.   Pilar, bangunan, dan tubuh hilang bayang Di sebelah barat dari fasad basilika, ada yang mengambil waktu berdoa, mengulur rosario dan mengucap salam Maria Lagi, kuingat gadis yang tertidur dalam lukisan itu. Mungkin, dia telah lelah memanggil nama Tuhannya. 4/ Seekor merpati hinggap di tugu Santo Theodore Mengepak sayap sekali lalu terdiam seperti aku yang diingatkan sebuah kekuatiran dalam perumpamaan, ”Bukankah engkau lebih bernilai dari seekor burung?” Langit makin mendung Ak

Payung

Kesetiaan itu sederhana, katamu, Payung yang sedia dikembangkan ketika gadis itu hendak menyeberang, di dalam gerimis. Dan kau tak menangis. Tak perlu bersedih ketika hujan seumpama logam yang dijatuhkan begitu pelan dan teramat tragis. Sebab kesetiaan itu dunia tak pernah tidur, malam dan lampu yang saling mengingatkan barangkali di depan tembok sebuah gang, seorang gadis berpisah dengan seorang penyair setelah berbincang tentang cinta dan negeri yang penuh basa-basi. Tapi, aku memahami kesetiaan seperti slogan di papan iklan, payung yang tak jadi kembang, serta hujan yang menggigil sendirian di jalan. Dan gadis itu tak peduli lagi pada hujan, pada penyair itu, dan ceritanya yang membual-bual seperti air di selokan. 2013

Mata Kapak

Kaukah itu mata kapak yang diapungkan Elia? Seseorang seperti aku berseru,"Itu satu-satunya barang berhargaku! Itu pun pinjaman." Hidup memang perkara mencari dan menemu apa yang tak bisa dimiliki selamanya Karena itu aku mencari ketajaman, kehendak paling kejam Agar tertebas keinginan lain dan yang dingin seperti beku waktu dan kebodohan mengingin sepenuhmu Agar roboh juga pokok doa ceroboh, Doa yang tergesa seperti angin, dan menderu tubuh-tubuh yang ragu. Kau kah itu mata kapak yang diapungkan Elia? Aku sungai bertebing landai Harapan akan kesia-siaan dan tak lagi pandai mencari celah untuk memandang wajahmu Mungkin, arusku tak cukup deras mendaraskan kata-katamu. dan apa yang kuhanyutkan selalu kembali jadi beban yang bergayut di hatiku Maka aku mencarimu Mata kapak itu Yang tajam dan berharga. Jangan majal, mata kapakku Hidup ini bukit terjal dan berliku Pendakian pada puncak ragu Ingin menerabas atau berlalu. Jangan gompal, mat

Menerjemahkan secara Bebas Annus Mirabilis

Philip Larkin Annus Mirabilis Sexual intercourse began In nineteen sixty-three (which was rather late for me) - Between the end of the Chatterley ban And the Beatles’ first LP. Up to then there’d only been A sort of bargaining, A wrangle for the ring, A shame that started at sixteen And spread to everything. Then all at once the quarrel sank: Everyone felt the same, And every life became A brilliant breaking of the bank, A quite unlosable game. So life was never better than In nineteen sixty-three (Though just too late for me) - Between the end of the Chatterley ban And the Beatles’ first LP. Tahun Keajaiban Di tahun 1963, antara akhir pelarangan novel DH. Lawrence dan peluncuran perdana piringan hitam The Beatles, persenggamaan bebas mulai sering dilakukan (rasanya percuma, karena bagiku, itu sedikit terlalu lama ). Di sekitar itu, yang terjadi hanyalah semacam menawar dan mengalah, berdebat soal menikah, menjelang malam, ada pipi bersemu merah, e

Membuat Onde-onde Cina

Jika kau suka pedas, buatlah kuah dengan jahe dan gula merah. Bisa juga kau tambahkan pandan. Ini semacam pesan tentang umur dan kehidupan. Selebihnya, akal-akalan tentang letak matahari di langit utara yang dingin. Apalagi jika kau suka dengan kemeriahan, pada adonan tambahkan pewarna makanan. Lima menit adalah waktu menguleni. Membulat-bulatkan dengan telaten sekali. Cukup masukkan dalam air panas. Sebab hidup seperti memasak, membuat masalah jadi jenak. Tenang tanpa riak. Dan karena akal-akalan, makanlah sesuai umurmu. Jangan lupa tambahkan satu lagi. Semisal menghitung bahwa hidup masih berlanjut, dan waktu masih berdenyut. 2013

Persiapan Mendaki Gunung

Jangan lupa bawa selalu tas jinjing, dan jadilah penurut seperti Huang Jing Bawa serta juga yang merah dan putih, agar lukamu tak parah, juga cepat pulih Ini bukan mantra sihir, bukan pula nujum mutakhir, tapi minumlah anggur bunga krisan, dan mulai lakukan pendakian Karena bahaya dari gunung tak mungkin terbendung, hanya melanda orang-orang bingung Ini pesan Fei Chang Fang, Tuan Baiknya aku sampaikan, bukan? Sebab di hari ke sembilan bulan ke sembilan, terusirlah roh jahat dan kemalangan 2013

Menyaksikan Begitu Merah dan Meriah Daun Mapel di Tepi Hutan di Benxi

Jika di kotamu hanya tumbuh cemburu, berjalanlah mendaki tepi hutan di Benxi. Lupakan seseorang yang semalaman tugur, mengingat sajak Li Bai tentang bayangan diri yang diciptakan bulan di musim gugur. Tentu, bukan karena kau seorang penyendiri yang iseng berpuisi tentang daun mapel itu. Dan lihat! Betapa parah hati dimeriahkan sepi seolah di tepian hutan di Benxi di musim gugur ini, ada yang lebih merah dari daun mapel dan kini semakin merah seperti pipi peminum anggur dalam sajak Li Bai itu. Seperti mata yang perih karena semalaman kurang tidur menanti satu hari pergi atau mati di kotamu yang ditumbuhi cemburu, yang begitu ingin kau lupakan ini, meski hanya untuk menyaksikan begitu merah dan meriah daun mapel di tepi hutan di Benxi. 2013

Menjelang Melaut

Perhatikanlah Mazu, ikan-ikan Dewi para pelaut datang dari Selatan Semua yang takut telah pergi ke Putian dan berdoa 23 hari lamanya Perhatikanlah para nelayan, ikan-ikan Mereka yang datang ke lautan Berharap sepenuh keberanian, bukan lagi kepada Maharaja Kangxi Bukan juga pada janji-janji keselamatan Ini bulan ke tiga, bakarlah hio-mu, asapi udara Perhatikanlah aku, tuan-tuan Ini bukan janji seorang penakut Tapi dalam hati, badai ini gemuruh sendiri Menjelang melaut, siapa sempat memikirkan maut? 2013

Arti Menunggu

Pohon waktu yang bertubuh padamu Tumbuh di atas karang bisu Di antara pukul sembilan dan sejumlah kursi di taman Matahari memainkan benang-benang suara, harpa dan bunga yang layu. Kau mendengar seseorang mengerang? Cabang dengan daun-daun dimainkan angin Lapang pelukan yang penuh rasa ingin menjangkaumu Di mana aku? Di mana aku? Aku telah jatuh sebelum kunaiki karang itu Sebelum matahari bersembunyi mencapai nada tertinggi Bunga layu di atas kursi taman, tepat pukul sembilan Dan kudengar daun-daun ditabuh angin di langit beku Di anganmu tentang seseorang seperti aku 2013

Dari Mong Kok sampai Tseung Kwan O

Tak ada yang bilang, kereta di sini melayani sampai jam 1 malam. Semua mengingatkan agar pulang jangan lebih dari jam 12 malam. Maka jam 11, aku bergegas. Sambil mengingat nanti di stasiun Tiu Keng Leng, harus berganti kereta jalur ungu yang menuju Tseung Kwan O. Ada juga yang harus diingat - tiket kereta - jangan sampai hilang. Hanya kulihat sepasang remaja berdiri dekat pintu kereta, berpelukan. Mungkin juga berciuman, tapi siapa peduli? Jam begini semua lelah dan mengantuk. Sesekali mengalihkan pandangan ke papan elektronik tanda stasiun yang telah dilalui dan di mana lagi kereta akan berhenti. Tapi perjalanan hidup tentu selalu berdenyut. Seperti cinta sepasang remaja yang meletup-letup. Di Diamond Hill, sepasang kekasih beda bangsa masuk kereta. Yang lelaki Kaukasian, yang perempuan jelas Cina. Mungkin baru kencan usai kerja. Tapi di Kwun Tong, mereka berpisah. Si Kaukasian meninggalkan Si Cina. Dan kudengar seorang berkata,"Kok tidak diantar sampai

Belajar Anak Naga di Toko Batu Giok

Kalian mengajarkan beda batu giok asli dengan yang palsu dari denting, warna, dan cahaya. Aku senang sekali, tapi kalian juga ajarkan tentang anak naga, bertubuh kuda, kaki singa, ekor macan tutul. Aku tak bisa merasa bahagia, karena mereka sepasang, kanan dan kiri, laki-bini, dan lapar akan uang, hingga seorang kaya harus punya sebagai koleksi. Belum lagi, batu fosfor harus punya juga supaya segala masalah bisa diredam dan penyakit tak bisa menyerang, dan jika ukurannya besar, harganya tinggi, dan sebaiknya diletakkan pada sebuah meja di tempat usaha, atau di ruang tamu, jadi aku bertanya pada kalian semua apakah bahagia selalu diukur dengan uang, harta, termasuk batu mulia? 2013

Perusahaan Obat Negara di Shenzhen

"Kami biasa membagi dua semua bagian badan. Yin dan Yang. Laki - perempuan. Pemasukan dan pengeluaran. Dan sakit  adalah ketidakseimbangan," Begitulah seorang tua bergelar profesor ilmu pengobatan Asia Timur, bertutur atau menghibur, sebab di Perusahaan Obat Negara di Shenzhen ini, ada semacam sulap. Besi membara disentuhkan tangan. Tangan dioles salep dan sembuh seketika. "Kami mencari tumbuhan terbaik agar fungsi alat tubuh jadi sempurna. Cina adalah kebijakan alam untuk menyembuhkan dunia. Barat, mengobati tapi merusak ginjal dan hati." Maka aku dibawa masuk ke kamar untuk diperiksa. Dua atau tiga orang sekaligus. Seorang gadis manis bertindak sebagai penerjemah: Bapak lesu dan lemah. Ibu kurang semangat. Ada lebih kolesterol. Tak ada stetoskop, hanya dua lembar tangan diperiksa bergantian. Di akhir pemeriksaan, mereka menawarkan pengobatan. Cukup tuliskan nama saja. Sebab latin dan hanzi berbeda. "Obat yang kami beri, kualita

Seusai Badai di Causeway Bay

Setengah jam dari Kowloon East, langit masih gerimis. "Badai sudah sampai di Daratan," Begitu tajuk koran, tapi di Causeway Bay orang tak peduli itu lagi. Di sebuah pasar dengan deretan kios penjual suvenir, piyama, dan kaos, aku menawar tas belanja,"Seratus sepuluh, lima?" Si penjual memencet kalkulator - 115. Kadang, cinta tak peduli beda bahasa. Bahkan tak peduli juga jarak antar negara, "Ibu saya baru datang dari Jakarta." Seorang perempuan muda berkata. "Dia kerja di Konsulat. Sudah lama tak berjumpa." Sahut Sang Ibu, bangga. Sekitar pukul tiga, aku masuk gerai Ikea. Tentu saja, tak akan kubeli selembar meja. Di rak boneka, kutemukan kata Indonesia lebih banyak dari Swedia. Bangga? Mungkin saja. Sebab di seberang jalan, di Taman Victoria ada lebih banyak orang Indonesia. Di sana, kami duduk melepas lelah. Bertukar tanya; "Apa kata keluarga di Pulau Jawa tentang badai yang kemarin melanda?" Diam-diam, aku

Restoran Jumbo, Aberdeen

" Negeri ini dinamakan dari kampung nelayan, oleh pelaut yang dungu, " Begitu kata pemandu saat feri kecil menyeberangi teluk. Tapi siapa ingin percaya? Aku, ombak yang terus bergerak. Dan sejarah adalah pantai yang dikepung puluhan kapal pesiar. " Di sini, nasi disajikan belakangan. Dan sayuran adalah barang mewah, "katanya lagi, begitu feri bersandar di restoran di tengah teluk. Ada sepasang naga besar melingkar di pilar. Kulihat tak ada bintang, kalah terang daripada sinar bangunan di sekitar. Maka kami mengelilingi nasi, ayam hainan, udang rebus, dan aneka sayuran. "Ayo. Berfoto dulu! Restoran ini sudah terkenal dari dulu. Rasanya memang biasa, tapi melewatkan makan di sini tak semua orang mau." Langit dan laut seperti kompak, meredupkan diri, pada sejarah yang perlahan dibangkitkan rasa lapar. Ah. Sejarah dan kebanggaan memang tak sepadan. Begitu pula rasa lapar yang dungu, tak malu untuk memuaskan diri, menumpaskan segala ya

Suatu Malam di Ladies Market

Aku tak pandai menawar, tapi di sepanjang jalan ini semua orang berdagang, "Uang. Uang. Uang!" Di kedai dekat perempatan, aku membeli minuman, dua puluh lima dolar, tak lebih tak kurang. Betapa perhitungan adalah menaksir dan menimbang. Menimbun dan membuang. Lalu bagaimana menemukan kesenangan dalam perjalanan? Apakah dengan berbelanja? Seseorang bergegas ke kios penukaran mata uang, dan kembali dengan menenteng barang-barang. "Di sana", katanya, "kaos dan jam tangan sedang diobral!" Senyumnya mengembang. Di perempatan, ada pemuda India dan dua orang nenek Cina berteriak lantang, "Pijat! Pijat! Pijat kaki dan badan!" Di pikiranku, ada yang tiba-tiba meruang : semacam perkiraan, dalam kehidupan perjuangan adalah hal yang tak boleh berkurang. 2013