Pada mulanya adalah nyanyian, cakrawala terbuka di kaki langit, kesiut angin laut, dan suara karang dihantam gelombang. Nyanyian itu digemakan guha-guha, direnung gunung dan bukit, tapi selirih suara satwa yang telah disembelih, dan dikorbankan di atas altar. Dia diulang-ulang dalam sembahyang, sebagai nama-nama tuhan, yang dikenalkan dan dikekalkan aneka kitab dan mantra. Dizikirkan para peziarah, yang zuhud, yang mabuk cinta. Yang lupa pada usia, dunia, dan peristiwa-peristiwa yang berkelindan pada pagi dan petang. "Baiklah, kita tidur sebagai bayi saja," katamu dalam tangis yang manja. Tangis yang timbul setelah kita tak mampu lagi bicara tentang pahlawan, pedang, atau raja. Padahal tadi, aku hendak bernyanyi memuji Dia, karena sejak awal tak ada bagiku yang lain selain nyanyian kemenangan. Nyanyian yang dikutuki para pecundang, digelorakan para serdadu dan pengasah pedang. Sebab, pada mulanya memang hanya ada nyanyian, suara-suara yang didengar dari atas tembok kota, dari